Nadzir Handal
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Ikhtilaf ulama mengenai boleh tidaknya wakaf uang, boleh dikatakan, sudah selesai. Akhirnya, memang ada dua pendapat, yang tidak setuju (misalnya Anwar Ibrahim, 2002), dan yang setuju. Yang setuju,dari ulama terdahulu, contohnya Az-Zuhri (wafat tahun 124 H). Beliau membolehkan mewakafkan dinar dan dirham dengan menjadikannya sebagai modal usaha/dagang dan menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Menurut mazhab Hanafi, uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudlarabah atau system bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil diberikan untuk kepentingan umum (Wahbah Al-Zuhaily, 1997).
Penulis sendiri berpendapat, wakaf uang tunai dibenarkan secara syari’ah, dengan catatan uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara di lembaga yang amanah dan professional.
Pandangan ulama tentang wakaf menunjukkan, pemikiran mereka cukup jauh, bahkan melampaui zamannya. Ijtihad dari masa lalu masih relevan untuk zaman sekarang. Ulama madzhab Maliki misalnya, membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan, dan membolehkan mewakafkan uang. Ulama madzhab Syafi’I dan Madzhab Hambali berpendapat bahwa baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan (Menteri Agama RI, pada pembukaan Workshop Wakaf Produktif, Batam, 2002). Harta bergerak, pada zaman sekarang termasuk uang, saham, atau surat-surat berharga lainnya.
Bukti konkret wakaf uang di dunia Islam kontemporer yang pengusahaannya menghidupkan asset wakaf, cukup banyak. Di Bangladesh, wakaf uang digalang lewat sertifikat wakaf uang dan out putnya beragam:
a) Perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf uang dan membantu dalam pengelolaan wakaf;
b) Membantu memobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf uang dengan maksud untuk memperingati orangtua yang telah meninggal, anak-anak, dan mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya;
c) Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal;
d) Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya;
e) Menciptakan kesadaran diantara orang kaya tentang tanggung jawab social mereka terhadap masyarakat;
f) Membantu pengembangan Social Capital Market;
g) Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat (A.A. Mannan, 2001).
Di Indonesia, fakta semacam itu cukup banyak. Hampir semua lembaga pendidikan Islam, terutama pondok pesantren, menggerakkan roda kegiatannya dengan menggunakan dana wakaf, baik melalui wakaf tanah, bangunan maupun wakaf uang. Wakaf uang menghidupkan aset wakaf, atau, asset wakaf produktif dibeli dengan uang yang diwakafkan. Dengan ijtihad semacam ini nadzir (pengelola aset wakaf) dituntut untuk kreatif. Menjadi nadzir – lebih-lebih wakaf uang, tidak main-main karena ada kewajiban menjaga keberlangsungan berputarnya dana wakaf sebagai penggerak kemanfaatan demi kepentingan umum.
Sekalipun peran nadzir cukup berat, sikap profesional membantu menjaga kesinambungan manfaat wakaf uang yang diamanahkan kepadanya. Apalagi, potensi wakaf di Indonesia amat besar sehingga harus terus digalakkan dan ditingkatkan implementasinya. Pengorganisasian wakaf uang yang makin rapi dan visioner, insya Allah kian efektif melalui berbagai aktivitas produktif demi mengentaskan kemiskinan. Dalam konteks wakaf uang tunai, umat juga
perlu menyadari, kerja lembaga kenadziran, tidaklah sesederhana
merawat wakaf berupa masjid atau kuburan.
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.