BAI’ (JUAL BELI)
1. Definisi Jual Beli
Jual Beli (Bai’) disebut juga dengan kata asy sira’, al mubadalah, dan at tijarah. Menurut etimologi, jual beli diartikan sebagai ”Pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain”.
Adapun menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya.
a. Menurut ulama Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta beradasarkan cara khusus (yang dibolehkan).
b. Menurut Imam Nawawi dalam al majmu’, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
2. Landasan Syar’i
Jual beli disyariatkan berdasarkan al Qur’an, as sunnah, dan ijma’ ulama’.
a. Landasan Al Qur’an
- Al Baqarah ayat 275
”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
- Al Baqarah ayat 282
”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli...”.
- An Nisa’ ayat 29
”...kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka”.
b. Landasan as sunnah
- Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, ”Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur,” (HR. Bazzar, Hakim menshahihkannya dari Rifa’ah ibn Rafi’).
- Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari uasaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
c. Landasan ijma’ ulama
- Ulama’ telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
3. Rukun dan Pelaksanaan Jual Beli
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai rukun jual beli. Menurut ualama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dab qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun menurut jumhur ulama’, rukun jual beli ada 4 (empat), yaitu:
a. Ba’i’ (penjual)
b. Musytari (pembeli)
c. Shighat (ijab dan qabul)
d. Ma’qud alaih (benda atau barang yang diperjualbelikan)
Dalam Akad jual beli, terdapat empat macam syarat, yaitu:
a. Syarat terjadinya Akad (in’iqad). Jika suatu Akad jual beli tidak memenuhi syarat ini, Akad tersebut menjadi batal.
b. Syarat sahnya Akad. Jika suatu Akad jual beli tidak memenuhi syarat ini, menurut ulama Hanafiyah, Akad tersebut menjadi fasid.
c, Syarat terlaksananya Akad (nafadz). Jika suatu Akad jual beli tidak memenuhi syarat ini, Akad tersebut mauquf (ditangguhkan) yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan.
d. Syarat luzum. Jika suatu Akad jual beli tidak memenuhi syarat ini, Akad tersebut menjadi mukhayyir (pilih-pilih), artinya adanya khiyar (pilihan), baik khiyar untuk mentapkan maupun membatalkan.
Adapun tujuan syarat-syarat di atas secara umum antara lain adalah untuk menghindari pertentangan di anatar manusia, menjaga kemashlahatan orang yang sedang Akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain.
Di antara ulama-ulama empat madzhab fiqh, terdapat perbedaan pendapat di dalam menetapkan persyaratan jual beli. Berikut ini sekilas perbedaan di antara ulama-ulama empat madzhab tentang persyaratan jual beli.
1. Menurut Ulama Hanafiyah
a. Syarat Terjadinya Akad (in’iqad)
adalah syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Jika persyaratan ini, tidak terpenuhi, jual beli menjadi batal. Tentang syarat ini, ulama hanafiyah menetapkan empat syarat sebagai berikut:
1). Syarat Aqid (orang yang melakukan Akad)
a. Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf (membelanjakan harta) yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum dibagi tiga:
- Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seeprti hibah
- Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anaka kecil.
- Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan, yaitu aktivitas yang boleh dilakukan, tetapi atas izin wali.
b. Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah Akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan oleh dua orang.
2). Syarat dalam Akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dab qabul. Adapun syarat ijab dan qabul ada 3 (tiga) yaitu: dilakukan oleh ahli Akad, qabul harus sesuai dengan ijab, dan ijab qabul harus bersatu, yaitu berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu.
3). Syarat dalam Tempat Akad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
4). Syarat Ma’qud ’Alaih
Ma’qud ’alaihi harus memenuhi empat syarat sebagai berikut:
a. Ma’qud ’alaih harus ada.
b. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
c. Benda tersebut milik sendiri
d. Dapat diserahkan
1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk Akad
2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain.
Berdasarkan nafadz dan waqaf (penangguhan), jual beli dibagi dua macam:
a. Jual beli nafidz, yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi syarat dan rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan sah.
b. Jual beli mauquf, yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan nafadz, yakni bukan milik dan tidak kuasa untuk melakukan akad, seperti jual beli fudhul (jual beli milik orang lain tanpa ada izin).
Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaitu umum dan khusus.
1. Syarat Umum
adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan dengan waktu (tauqit), penipuan (gharar), kemadaratan, dan persyaratan yang merusak lainnya.
2. Syarat Khusus
adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi berbagai persyaratan sebagai berikut:
a. Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang.
b. Harga awal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
c. Searah terima benda dilakukan saebelum berpisah, yaitu pada jual beli yang bendanya ada di tempat.
d. Terpenuhi syarat penerimaan.
e. Harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu dalam jual beli yang memakai ukuran atau timbangan.
f. Barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di tangan penjual.
Syarat ini hanya satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak akad dan akan menyebabkan batalnya akad.
2. Madzhab Maliki
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyah yang berkenaan dengan aqid (orang melakukan akad), shighat, dan ma’qud a’alaih (barang) berjumlah 11 syarat sebagai berikut:
a. Syarat Aqid
Aqid adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) syarat bagi aqid ditambah 1 (satu) syarat khusus penjual.
1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz.
2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil.
3. Keduanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah.
4. Penjual harus sadar dan dewasa.
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi ’aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf. Begitu pula dipandang shahih jual beli yang dilakukan oleh orang yang buta.
b. Syarat dalam Shighat
1. Tempat akad harus bersatu.
2. Pengucapan ‘ijab dan qabul tidak terpisah.
Di antara ’ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah yang mengandung unsur penolakan dari salah satu ’aqid secara adat.
c. Syarat Harga dan Harga yng Dihargakan
1. Bukan barang yang dilarang syara’.
2. Harus suci, maka tidak boleh menjual khamr, dn lain-lain.
3. Bermanfaat menurut pandangan syara’.
4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang akad.
5. Dapat diserahkan.
3. Madzhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyyah mensyaratkan 22 syarat yang berkaitan dengan ’aqid, shighat, dan ma’qud alaih. Ke-22 syarat tersebut adalah:
a. Syarat ’aqid
1. Dewasa atau Sadar.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak.
3. Islam.
4. Pembeli bukan musuh.
b. Syarat Shighat
1. Berhadap-hadapan.
2. Ditujukan pada seluruh anggota badan yang akad.
3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab.
4. Harus menyeburkan barang atau harga.
5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat.
6. Pengucapan ijab dab qabul harus sempurna.
7. Ijab dan qabul tidak terpisah.
8. Antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh pernyataan lain.
9. Tidak berubah lafadz
10.Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna.
11.Tidak dikaitkan dengan sesuatu
12.Tidak dikaitkan dengan waktu.
c. Syarat Ma’qud ’Alaih (Barang)
1. Suci.
2. Bermanfaat.
3. Dapat diserahkan.
4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain.
5. Jelas dan dijetahui oleh kedua.
4. Madzhab Hambali
Menurut ulama hanabilah, persyaratan jual beli terdiri atas 11syarat, baik dalam aqid, shighat, dan ma’qud ’alaih.
a. Syarat Aqid
1. Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemaslahatan.
2. Ada keridaan
Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga lazim.
b. Syarat Shighat
1, Berada di tempat yang sama.
2. Tidak terpisah.
3. Tidak dikaitkan dengan sesuatu.
c. Syarat Ma’qud ’Alaih
1. Harus berupa harta.
2. Milik penjual secara sempurna.
3. Barang dapat diserahkan ketika akad.
4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
5. Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah.
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama’ membagi jual beli menjadi dua macam, yaitu:
1. Jual beli yang dikategorikan sah (shahih), yaitu jual beli yang emmenuhi ketentuan syara’, baik syarat maupun rukunnya.
2. Jual beli yang dikategorikan tidak sah, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama’, rusak atau batal memiliki arti yang sama.
Adapun ulama hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi jual beli sah, batal, dan rusak.
1. Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun, atau yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil.
3. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
D. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam, Wahbah Al Zuhaily meringkasnya sebagai berikut:
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini:
a. Jual beli orang gila.
b. Jual beli anak kecil.
c. Jual beli orang buta.
d. Jual beli terpaksa.
e. Jual beli fudhul yaitu jual beli tanpa seizin pemiliknya.
f. Jual beli orang yang terhalang.
g. Jual beli malja’ yaitu jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut menurut ulama Hanafiyah adalah fasid dan menurut ulama Hanabilah adalah batal.
2. Terlarang sebab Shighat
Ulama fiqh telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, da kesesuaian di antara ijab dab qabul, berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan teresbut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
a. Jual Beli Mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dab qabul
f. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
3. Terlarang Sebab Ma’qud ’Alaihi (Barang jualan)
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama’, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli seperti ini adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air.
c. Jual beli gharar.
Jula beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu membeli ikan di dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu).
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al mutanajjis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama madzhab. Sebaliknya ulama Zhahiriyah melarang secara mutlak. Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah, yaitu yang semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
menurut ulama Hanaiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan menurut jumhur adalah batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak adpat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya. Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 (lima) macam:
1. Harus jauh sekali tempatnya,
2. Tidak boleh dekat sekali tempatnya,
3. Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran,
4. Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh,
5. Penjual tidak boleh memberikan syarat.
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap, dibolehkan. Sebaliknya, Ulama Syafi’iyyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarag atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ualama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama’. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada bebrapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama’, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid dan terjadi akad atas nilainya,m sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dari perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat hal itu makruh tahrim. Ulama Syaf’iyyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah, pada waktu adzan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketik akhatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyyah menghukumi sahih haram. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah adalah tidak jadi, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak sah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah zahirnya sahih, tetapi makruh, sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli yang sedang dibeli oleh orang lain
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, ”Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dahulu.” Begitu pula menurut ulama Malikiyah membeolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan dengan syarat ada maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
E. Macam-macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
a. Jual beli saham (pesanan), yaitu jual beli dengan acara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual beli muqayadhah (barter), yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq, yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar, yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pyula menjadi empat bagian:
1. Jual beli yang menguntungkan (al murabahah).
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at tauliyah).
3. Jual beli rugi (al khasarah)
4. Jual beli al musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridai. Jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.