Sabtu, 28 Juni 2008

الرب

المبحث الأول: تعريف الربا:

الربا في اللغة الفضل والزيادة، ومنه قوله تعالى: {فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ} [الحج: 5] وقوله سبحانه: {أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ} [النحل: 92] وهو مقصور على الأشهر. وهو من الباب الأول، ويثنى على (ربوان) وينسب إليه فيقال (ربوي) على أصله.

والربا في الاصطلاح الفقهي:

عند الحنفية (فضل خال عن عوض بمعيار شرعي مشروط لأحد المتعاقدين في المعاوضة). وعند الشافعية: (عقد على عوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد، أو مع تأخير في البدلين أو أحدهما) وعند الحنبلية: (الزيادة في أشياء مخصوصة) والمالكية في تعريفهم للربا لا يخرجون عن هذه التعاريف.

ومن التعاريف يتضح أن الربا إنما هو الزيادة الخالية عن عوض مقابل، فلو كانت زيادة يقابلها عوض لم تكن ربا. وكذلك فإن الربا خاص بالمعاوضات، أما الهبة فلا يجري فيها الربا.

والربا لا يكون إلا مشروطاً، فلو زاد أحد المتبايعين الآخر دون شرط لم يكن ربا.

وكذلك فإن الزيادة فيه لا تتحقق إلا إذا كان العوضان منضبطين بمعيار شرعي وهو الكيل أو الوزن لا غير.

L/C (Letter of Credit)

Letter of Credit (L/C) atau biasa disebut surat kredit berdokumen merupakan alat pembayaran yang dikeluarkan bank atas permintaan importir dalam transaksi dagang internasional.[1]

Menurut Dewan Syariah Nasional MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 yang dimaksud dengan L/C (Letter of Credit) adalah surat pernyataan akan membayar kepada importir yang diterbitkan oleh bank untuk kepentingan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.

L/C (Letter of Credit) suatu janji tertulis dari pihak pembuka untuk melakukan pembayaran atau mengaksep wesel atau menegosiasi wesel yang ditarik penjual (eksportir) atau kepada pihak lain yang dikuasakannya, sepanjang wesel dan dokumen pengapalannya memenuhi ketentuan dan persyaratan yang tercantum pada Letter of Credit tersebut.[2]

L/C (Letter of Credit) merupakan salah satu jasa bank dalam hal transaksi perdagangan internasional. Perdagangan luar negeri/internasional relatif sama dengan perdagangan dalam negeri, tetapi lebih banyak institusi yang terlibat. Bank hanya berhadapan dengan dokumen yang telah memenuhi persyaratan tertentu sebelum bank melakukan pembayaran. Berbeda dengan perdagangan dalam negeri, dalam perdagangan luar negeri dengan menggunakan L/C, bank akan dihadapkan pada berbagai masalah, seperti (1) letak geografis, dimana penjual dan pembeli berjauhan dan dibatasi oleh laut; (2) hukum dan politik setiap negara yang berbeda; (3) bahasa yang berbeda; (4) mata uang, di mana antara seller dan buyer dalam melaksanakan pembayaran dan penerimaan uang menginginkan mata uang yang berlaku di negara masing-masing; (5) risiko suatu negara, yaitu suatu risiko yang mungkin timbul karena adanya perbedaan tingkat kemakmuran sebuah negara untuk menyelesaikan kewajibannya.

Untuk memperoleh gambaran, berikut ini dapat digambarkan mekanisme transaksi dengan menggunakan Letter of Credit.







Text Box: Penjual/Seller


Contract

Aplikasi Pembukaan L/C Advice L/C




Gambar 1 Bagan Transaksi Luar Negeri Sebelum Pengapalan Barang

Dengan melihat bagan diatas, tahapan transaksi perdagangan luar negeri sampai dengan saat menjelang pihak penjual/seller menyerahkan barang-barang untuk dimuat di atas kapal, tahapan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Saat di mana penjual menawarkan barang-barangnya kepada pembeli, dan pihak pembeli mempelajarinya dengan kepastian apakah barang-barang tersebut mendatangkan keuntungan baginya, kemudian ditegaskan oleh kedua belah pihak dalam bentuk sales contract.

2. Pembeli mengajukan aplikasi pembukaan L/C ke Bank Devisa dengan tujuan agar bank dapat bertindak atas namanya dengan cara memberikan kuasa kepada penjual untuk menarik pembayaran dalam jumlah tertentu (sesuai dengan yang telah disepakati dalam sales contract) dengan syarat agar pihak penjual harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti yang tercantum dalam aplikasi L/C di maksud.

3. Bank penerima L/C tersebut akan segera membuka suatu L/C yang ditujukan kepada pihak penjual/eksportir beneficiery, yang isinya memberikan hak kuasa kepada penjual untuk menarik sejumlah uang tersebut, dengan syarat penjual memenuhi syarat-syarat tertentu seperti yang tercantum dalam L/C.

Surat berharga seperti L/C tersebut seharusnya dapat diterima langsung oleh pihak penjual/eksportir. Namun demikian, yang menjadi permasalahan dalam hal ini ialah “keautentikan” dari L/C yang bersangkutan sebab L/C tersebut merupakan suatu jaminan pembayaran.

Dalam hal seperti ini, bank devisa dari pihak pembeli (buyer) atau bank pembuka L/C tersebut membutuhkan partisipasi dari bank lainnya yang sekurangnya mempunyai lokasi yang sama/sekota dengan pihak penjual/eksportir untuk diminta bantuannya agar meng “orientasikan” L/C dimaksud kepada pihak yang berkepentingan, yaitu pihak penjual/eksportir.


[1] Nazir, Habib, Dr. Dan Muhammad Hassanuddin, S. Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Jakarta : Kaki Langit. 2004.

[2] Rivai, Prof. Dr. H. Veithzal, dkk. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia System. Jakarta : Rajawali Pers. 2007.

Harta dalam Perspektif Islam

Harta dalam Ekonomi Islam

pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو

sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:" Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh." (Bukhari dan Muslim)

pengertian harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya. Harta (nilai harta).

Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.

Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.

Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:

  1. Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
  2. Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
  3. Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.

PENGELOLAAN HARTA DALAM ISLAM

Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:

1. Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”

2. Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”

3. ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim)

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.

”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.

Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.

Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.

Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat

Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.

Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:

1. harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);

2. pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)

3. penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)

4. penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi

5. kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.

Tips Atasi Problematika Keuangan

TIPS ISLAMI ATASI KEUANGAN 
 Ada sebuah email dari teman kita yang isinya seperti berikut :
Insya Allah walhamdulillah, saya juga mantan 
pengangguran...............
tapi semua itu saya hadapi dgn sabar dan usaha, kenapa saya sabar dan
usaha. Bukannya saya tidak kerja kantoran, namun betul kata orang 
selain jadi karyawan kita harus punya usaha sendiri. Usahakan hasil Kerja 
dikantor jangan langsung dihabiskan saya punya tips:
 1. kita harus punya komitmen menabung seberapapun.
 2. Dan jika ingin tambah berkah, shaum senin-kemis (secara otomatis Akan  mengurangi jatah makan siang kita).
 3. Usahakan punya kendaraan sendiri walaupun harus kredit (motor).
 4. Mulailah usaha sejak sekarang, minimal otak bisnis harus jalan sepanjang jalan
 5. Bangun komunikasi dgn siapapun
 6. Jangan cari musuh, jika terlanjur dah punya silaturrahmi (waktu saya jadi tukang ojeg banyak yg nggak suka, namun saya tetep
 komunikasi-alhamdulillah sekarang sudah baikan-usaha ojek pake motor kakak thn 2000-an)
 7. bayar haq kaum dhuafa (baik zakat ataupun sedekah)
 8. Niatkan kerja ibadah bukan semata2 cari uang.
 9. Cari peluang dari donatur salurkan didaerah dhuafa yang asal kita Dan  sekitar tempat kita tinggal.
 10. selalu siaplah 24 jam jika diminta jadi panitia Santunan Sosial.
 11. Usahakan minimal beli 1 edisi setiap terbit majalah Islam apa 
saja-itu akan membantu usaha2 saudara2 kita dalam menyuarakan Islam saya pribadi  langganan Majalah Ummi, Tarbawi (Rutin), dan Saksi (sewaktu2)
 12. Gaul sama kalangan Muda-Tua
 13. Sholat sunnah dhuha
 mungkin ada yg menambahkan............
From Milis 
Mustofa@ikpt.com