Selasa, 24 Juni 2008

GCG

Good Corporate Governance pada Bank Syariah

Corporate Governance in Islamic Banking Institutions oleh Umar Chapra & Habib Ahmed, IRTI 2002

Konteks Indonesia

PBI No. 08/4/06
PBI No. 08/14/06
SE No. 09/12/DPNP + Lamp


Konsep

1. Good Governance dalam Sistem Keuangan Islam di Masa Lalu

Kita kembali ke sejarah zaman keemasan peradaban Muslim untuk melihat faktor-faktor yang memungkinkan para sarraf (Bankir) memenuhi ekspektasi-ekspektasi masyarakat dan berkinerja baik dalam batasan-batasan yang dimungkinkan oleh teknologi pada zaman tersebut. Sebagian besar dari fungsi-fungsi yang dijalankan di masa itu sekarang dijalankan oleh bank-bank modern. Mereka (para sarraf) mengevaluasi keontetikan dan kehalusan pembuatan koin-koin, dimana hal tersebut merupakan suatu fungsi yang sangat penting pada waktu itu ketika koin-koin tersebut terbuat dari logam mulia. Mereka menyimpan koin-koin itu di dalam kantong-kantong bersegel dalam beberapa ukuran berbeda yang masing-masing berisi koin dalam jumlah tertentu untuk memudahkan masyarakat dalam perhitungannya ketika membayar atau menerima pembayaran. Mereka mentransfer dana dari suatu tempat ke tempat lain tanpa memindahkan fisik dari uangnya, sehingga menjamin tidak hanya kemanannya namun juga kesuksesan befungsinya sistem pembayaran. Mereka menguangkan cek dan mengeluarkan surat hutang serta Letter of Credit (L/C). Mereka juga melakukan tugas-tugas krusial intermediasi keuangan dengan memobilisasi dana dar penabung dan menginvestasikan ke pada produsen dan pedagang, khususnya dalam bentuk mudharabah dan musyarakah. Dengan demikian mereka membiayai pertanian, manufaktur dan perdagangan jarak jauh dan meningkatkan pembangunan ekonomi. Mereka juga saling membantu mengatasi kesulitan likuiditas dengan berdasarkan gotong-royong, yang kemudian disebut ibdaa’ atau bidaa’ah

Semua fungsi yang dijalankan olej para sarraf (bankir) menuntut rasa saling percaya atau satu sama lain diantara partisipan. Hal in memunculkan pertanyaan apa yang memungkinkan sarraf menanamkan rasa saling percaya tersebut selama berabad-abad dalam dunia Islam, dan bagaimana bank syariah di zaman modern in melakukan hal yang sama. Jawabannya tergantung dari sokongan yang diterima oleh sistem keuangan dari suatu lingkungan yang kondusif (enabling environment). Pertama, mekanisme pasar, membuat sema pelaku pasar melakukan pekerjaannya secara jujur dan efisien dalamkerangka kepentingan pribadi jangka panjang. Kemudian hal tersebut diperkuat dengan nilai-nilai Islam yang secara umum diikuti oleh pelaku pasar. Lalu lingkuangan religius tersebut membantu menciptakan penegakan nilai-nilai tersebut secara mandiri.

Kedua, para sarraf beroperasi didalam masyarakat yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang dilayani oleh sebuah bank modern. Dengan kondisi itu, para deposan, pengguna dana, dan para sarraf sudah saling kenal baik. Oleh karena itu terbentuk suatu lingkungan yang tertanam rasa saling percaya, yang menjamin penegakan nilai-nilai Islam dan menekan kemungkinan salah seorang diatara mereka menipu (fraud) dan kabur dengan aman.

Ketiga, rasa saling percaya tersebut lebih jauh lagi diperkuat dengan kondisi saling kooperatif (environment of mutual cooperation) yang muncul diantara pelaku pasar dikarenakan kesamaan suku, perserikatan, persaudaraan atau komunitas sufi/keagamaan (sufi order). Sejumlah orang dari mereka bertindak sebagai pedagang sekaligus sebagai agen pada saat yang sama, sehingga meningkatkan rasa saling ketergantungan. Dependensi dan kooperasi menghasilkan apa yang Ibnu Khaldun sebagai ’ashobiyyah atau solidaritas sosial. Hal ini menjamin kejujuran dan keadilan (fairmess) dalam setiap transaksi antar sesama, dan selanjutnya membangkitkan rasa saling percaya di dalam sistem. Siapapun yang berusaha untuk curang atau terlalu menangguh-nagguhkan akan terlempar dari sistem. Siapa pun yang berusaha untuk curang atau terlalu menangguhkan-nangguhkan akan terlempar keluar dari sistem. Semua orang akan menolak untuk berurusan dengan pihak yang terbukti curang. Kondisi seperti ini berfungsi sebagai suatu mekanisme informal penegakan kontrak dan sebagai penangkal kecurangan dan penipuan. Iklim kepercayaan (Trust) yang dihasilkan dengan cara seperti diatas menciptakan suatu ’komunitas moral’ memecah hambatan-hambatan geografis dan bahasa, serta memfasilitasi aliran barang dan modal finansial. Menurut Udovitch, sistem yang berdasarkan saling kooperatif ini tidak dilandaskan atas ’niat baik sesaat atau secara kebetulan’, tetapi lebih merupakan praktek komersil biasa yang sering dibahas dalam diskusi-diskusi tentang partnership (Mudharabah dan Musharakah) yang fungsinya mirip dengan simpanan (deposit), jaminan (pledge) atau kontrak-kontrak sejenis.

Yang keempat, kondisi perekonomiannya tidak sekompleks sekarang dan, secara umum, memiliki variabel-variabel ekonomi yang tidak begitu mudah berubah (less volatile), terutama sekali variabel harga dan nilai tukar, tidak sebagaimana di masa modern ini.

Kelima, para sarraf merupakan pengusaha-pengusaha individual atau usaha-usaha patungan, dan pemisahan antara kepemilikan dengan kontrol/manajemen bukanlah suatu masalah. Kepentingan pribadi para sarraf dan juga para pengguna dana memperkuat rasa saling percaya (mutual trust and confidence) di dalam sistem yang ditopang oleh nilai-nilai moral dan semangat kooperatif. Mudharabah dan Musharakah merupakan metode utama untuk memobilisasi sumber-sumber keuangan dan mengkombinasikannya dengan kemampuan wirausaha dan manajerial untuk membantu industri kerajinan (crafts) dan manufaktur dan memperluas perdagangan jarak jauh. Instrumen-instrumen tersebut membuka akses ke seluruh cadangan sumber daya moneter dunia Islam abad pertengahan bagi dunia perdagangan dan industri, serta berfungsi sebagai instrumen pembiayaan, dan sampai pada tingkat tertentu memproteksi usaha-usaha komersial, sekaligus menyediakan kombinasi keahlian dan layanan untuk pengelolaan usaha secara memuaskan.

Keenam, instrumen-instrumen hukum yang dibutuhkan untuk penggunaan pembiayaan yang ekstensif melalui kontrak mudharabah dan musharakah telah tersedia di awal periode Islam. Instrumen-instrumen ini, yang tertera secara mapan di dalam tulisan-tulisan kuno mengenai hukum Islam, diilhami oleh aturan-aturan Al – Qur’an bahwa semua transaksi pinjaman harus dilaksanakannya dalam bentuk kontrak tertulis yang melibatkan saksi-saksi (Al – Qur’an, 2:282). Instrumen-instrumen tertulis, dengan demikian, menjadi suatu fitur penting dalam intermediasi keuangan.

Terakhir, yang cukup penting, kekuatan dan independensi sistem peradilan (mahkamah al-qadaa’). Pengadilan memastikan bahwa kontrak dan perjanjian harus diterima secara benar. Dan juga mungkin untuk mendapatkan keadilan saat itu juga dengan ‘biaya’ rendah, yang dimaksud biaya: waktu, masalah dan uang. Menurut Schacht, kantor qadi (hakim) telah terbukti menjadi salahsatu lembaga paling teliti dan ketat yang dikembangkan secara gradual di masyarakat Islam. Para qadi’ dan bersama para ulama memainkan peranan penting dalam pemeliharaan peradaban Islam, dan pada saat kacau, mereka menyuntikan element stabilitas.

Sebagai konsekuensi, biaya untuk menegakkan kontrak menjadi rendah dan sistem bekerja secara efisien. Hal ini membantu memajukan perdagangan, industri dan pertanian, yang berkembang mencapai tingkat omptimum. Perdagangan berkembang dari Maroko dan Spanyol di Barat, sampai ke India dan China di Timur, Asia Tengah di Utara dan Afrika di Selatan. Hal ini jelas tidak hanya diindikasikan oleh dokumen-dokumen sejarah yang ada, tapi juga oleh koin-koin ummat Islam dari abad ke tujuh sampai kesebelas yang telah ditemukan di beberapa bagian terpencil dari dunia Islam termasuk didalamnya Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, Kepulauan Inggris dan Iceland.

2. Kondisi sekarang

Bank-bank beroperasi dikomunitas yang relatif lebih luas dimana semua stakeholder yang bereda (pemegang saham, deposan, direktur, manajemen dan pengguna dana) tidak saling kenal baik.

3. Stakeholders

a. Islam

Stakeholder terpenting dalam keuangan Sialam adalah Islam itu sendiri. Jika bank-bank tersebut tidak beroperasi dengan baik, orang-orang yang berpikir bahwa sistem Islam sudah tidak relevan dengan dunia modern akan menyalahkan Islam atas rendahnya kinerja bank-bank tersebut meskipun Islamnya sendiri tidak ada hubungan apa-apa dengannya.

b. Shareholders

c. Deposan

d. Pegawai

e. Subtopic

4. Konflik Kepentingan

Jika pada korporasi atau bank konvensional konflik kepentingan umumnya terjadi antara ppemegang saham dengan manajemen, sementara pada bank Islam ada dimensi penting lainnya yang harus diikutkan, yakni para deposan. Para deposanlah yang menyediakan proporsi dana jauh lebih besar, dibandingkan para pemegang saham. Manajemen mungkin saja tidak memiliki kepentingan langsung dalam meningkatkan keperluan pemegang saham atau para deposan, khususnya karena manajemen mungkin saja tidak memiliki kontribusi, baik modal maupun simpanan, bagi sumber daya bank. Hal ini mendorong mereka untuk mengambil risiko-risiko yang takperlu dan juga mengambil keuntungan sebesar mungkin melalui gaji, tunjangan, dan cara-cara lain. Dengan demikian, mereka (manajeman) boleh jadi tidak sanggup memberikan pengembalian yang kompetitif kepada para deposan, serta mungkin juga membuat bank tersebut makin rentan terhadap goncangan. Para deposan tabungan bisa makin menderita karena, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, walaupun tidak dapat keuntungan apapun, tabungan mereka tetap secara tidak langsung akan terekspos pada risiko apabila simpanan tersebut digunakan untuk investasi yang berisiko tinggi, dan kerugian yang dihasilkan investasi tersebut akan menurunkan kemampuan bank untuk membayar penarikan simanan tersebut.

Sistem di Indonesia

1. Definisi

Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). (pasal 1 ayat 6).

Dilaksanakan (pasal 2 ayat 1):

Dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.

Diwujudkan minimal dalam bentuk (pasal 2 ayat 2):

§ Pelaksanaan tugas dan tanggunjawab Dewan Komisaris dan Direksi;

§ Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;

§ Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;

§ Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;

§ Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;

§ Rencana strategis Bank;

§ Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan bank.

2. Nilai Utama

§ Transparansi

Yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan.

§ Akuntabilitas

Yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif.

§ Responsibilitas

Yaitu kesesuain kesimbangan pengelolaan Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang sehat.

§ Independensi

Yaitu pengelolaan Bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.

§ Fairness

Yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Para pihak

§ Komisaris

Tugas dan tanggungjawab utama Dewan Komisaris adalah melakukan pengawasan dan bukan melakukan pengelolaan kegiatan operasional Bank.

Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank, kecuali untuk :

· Penyediaan dana kepada pihak terkait; dan

· Hal-hal yang diatur dalam Anggaran Dasar Bank atau Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Keterlibatan atau persetujuan Dewan Komisaris dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional sebagaimana tersebut diatas, merupakan bagian dari tugas Pengawasan Dewan Komisaris sehingga tidak meniadakan tanggung jawab Direksi dalam pelaksanaan kepengurusan Bank. Tugas pengawasan oleh Dewan Komisaris tersebut merupakan upaya pengawasan dini yang perlu dilaksanakan.

§ Direksi

Presiden Direktur atau Direktur Utama wajib berasal dari pihak yang independen terhadap Pemegang Saham Pengendali. Independensi Presiden Direktur dapat dipenuhi apabila bersangkutan tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan Pemegang Saham Pengendali Bank. Jumlah minimum 3 orang : Presiden Direktur wajib dari pihak independen terhadap pemegang saham kendali.

Tugas dan Tanggung Jawab Direksi :

· Direksi bertanggungjawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan Bank.

· Direksi wajib mengelola Bank sesuai dengan kewenangan dan tanggungjawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Direksi wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.

Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor eksternal, hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau hasil pengawasan otoritas lain.

Dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, Direksi paling kurang wajib membentuk : a. Satuan kerja Audit Intern; b. Satuan Kerja Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; c. Satuan Kerja Kepatuhan.

§ Komisaris Independen

Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya, Direksi dan/atau Pemegang Saham Pengendali atau hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk beritindak independen.

§ Pihak Independen

Yang dimaksud dengan Pihak Independen bagi anggota Komite adalah pihak di luar Bank yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan Dewan Komisaris, Direksi dan/atau Pemegang Saham Pengendali atau hubungan dengan Bank, yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen.

§ Komite

· Komite Audit

o Komite Audit melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit serta pemantauan atas tindak lanjut hasil audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian intern termasuk kecukupan proses pelaporan keuangan.

o Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, komite audit paling kurang melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap : a. Pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern; 2. Kesesuaian pelaksanaan audit oleh kantor Akuntan Publik dengan standar audit yang berlaku; 3. Kesesuaian pelaporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku; 4. Pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja Intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia, guna memberikan rekomndasi kepada dewan komisaris.

o Komite Audit wajib memberikan rekomendasi menganai penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham.

· Komite Pemantau Risiko

Komite Pemantau Risiko paling kurang melakukan :

o Evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.

o Pemantau dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko, guna memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris.

· Komite Remunerasi dan Nominasi

Komite Remunerasi dan Nominasi mempunyai tugas dan Tanggungjawab paling kurang :

o Terkait dengan Kebijakan Remunerasi :

* Melakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi,

* Memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris mengenai : a. Kebijakan remunerasi bagi Dewan Komisaris dan Direksi untuk disampaikan kepada Rapat Pemegang Saham; b. Kebijakan remunerasi bagi Pejabat Eksekutif dan pegawai secara keseluruhan ntuk disampaikan kepada Direksi.

o Terkait dengan Kebijakan Nominasi :

* Menyusun dan memberikan rekomendasi mengenai sistem serta prosedur pemilihan dan/atau penggantian anggota Dewan Komisaris dan Direksi kepada Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham;

* Memberikan rekomendasi mengenai Pihak Independen yang akan menjadi anggota Komite kepada Dewan Komisaris.

Komite Remunerasi dan Nominasi wajib memastikan bahwa kebijakan remunerasi paling kurang sesuai dengan :

* Kinerja keuangan dan pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;

* Prestasi kerja individual;

* Kewajaran dengan per group;

* Pertimbangan sasaran dan strategi jangka panjang Bank.

§ Pejabat Eksekutif

Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggungjawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional perusahaan atau Bank, antara lain pemimpin kantor cabang dan kepala Satuan Kerja Audit Intern.

§ Stakeholders

Stakeholders adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan secara langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan usaha Bank.

4. Penilai : Bank Indonesia

5. Pelaporan

Dampak Bungan thd Ekonomi Indonesia

Dampak Bunga terhadap Ekonomi Indonesia
Oleh : Drs. Agustianto, MAg

Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs mata uang di lima negara terdepresiasi 35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter. Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal) oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.
Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).
Besarnya kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi kepada bank-bank rekap sangat luar biasa. Pada tahun 2001 saja, bunga obligasi yang harus dibayar APBN sebesar Rp 61,2 Triliyun . Dan ini berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun.

Membayar Bunga SBI
Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 % . Bayangkan, pada saat itu dana bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara.

Beban APBN
Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini
Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.
Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.

Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
“Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau dalam setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.

Melihat realitas di atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas membawa petaka, masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.