Jumat, 20 Juni 2008

Asuransi Syariah

2.1 Asuransi Syariah
2.1.1. Definisi Asuransi Syari'ah
Menurut Dahlan Siamat (1999: 367), Istilah asuransi dalam perkembangan di Indonesia berasal dari kata Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi penanggung. Kemudian dalam bahasa Inggris istilah "pertanggungan" adalah insurance dan assurance. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, insurance artinya "menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi". Sedangkan assurance berarti "menanggung sesuatu yang pasti terjadi".
Pengertian asuransi menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tertentu".

Definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-undang Republika Indonesia Nomor 2 tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Bab 1 Pasal 1: "Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan" (Hasan Ali, 2004: 61).
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta'min, penanggung disebut mu'ammin, sedangkan tertanggung disebut mu'amman lahu atau musta'min. Atta'min ( التأ مين ) diambil dari kata ( أمن ) memiliki arti memberi perlindungan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut (Syakir sula, 2004: 28).
Menurut Amin Suma (2006: 40), Asuransi dinamakan at-ta'min disebabkan pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman begitu ia mengikatkan dirinya sebagai anggota / nasabah sebuah asuransi. Dengan menjadi anggota asuransi, paling tidak secara teoritis yang bersangkutan merasa terhindar atau paling sedikit terkurangi rasa cemas akan menanggung beban berat manakala terjadi sesuatu terhadap diri dan atau harta-bendanya.
Sejalan dengan berbagai sebutan dan substansi dari asuransi diatas, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (2001:131), dalam fatwanya No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Asuransi syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
2.1.2 Dasar Hukum Asuransi Syariah
Menurut Gemala Dewi (2006: 141), Hukum muamalah adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur'an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya adalah haram karena teryata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami.
Menurut Sofyan Syafri Harahap (1997: 100), Hakikat asuransi secara islami adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau Bantu-membantu dan saling melindungi satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah al-Hasyr ayat 18, al-Maidah ayat 2 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Landasan dalam Al-Qur'an :
       •    •   •     
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Hasyr : 18)

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"….. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….." (QS. Al- Maidah : 2)

Dari kutipan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa, Asuransi dalam Islam dikenal dengan istilah Takaful yang berarti saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana / sumbangan / derma (tabarru') yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. (Sofiniyah Ghufron, 2005:18)
Landasan dalam Al Hadits :
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
"Dari Nu'man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, 'Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam." (HR. Muslim).

Hadits ini menggambarkan tentang adanya saling tolong menolong dalam masyarakat Islami. Dimana digambarkan keadaannya seperti satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Dan terkadang bantuan yang diterima, jumlahnya melebihi 'biaya' yang dikeluarkan untuk pengobatan. Sehingga terjadilah 'surplus', yang minimal dapat mengurangi 'beban' penderitaan orang yang terkena musibah. Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah.
Menurut Hendi Suhendi (2002:312), Dikalangan ulama atau cendikiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini; termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i alasannya antara lain:
a. Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi.
b. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti.
c. Mengandung eksploitasi, karena pemegang polis apabila tidak bias melanjutkan pembayaran premi, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
2. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Yusuf Musa alasannya yang dikemukakannya sebagai berikut:
a. Tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang asuransi.
b. Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
c. Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah.
4. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkan.

Pengalihan Hutang dalam Islam (Hawalah)

Pengalihan Hutang Dalam Hukum Islam
Oleh : Hendro Wibowo

2. 2. 1 Definisi Pengalihan Hutang

Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-inqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.[1] Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang).[2]

لغة : النقل من محل إلى محل

Menurut bahasa adalah[3] pemindahan dari satu tempat ke tempat lain.

Pengertian Hiwalah secara istilah:

1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah: [4]

نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم

“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.

2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

نقل الدين من دمة إلى دمة

“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.

3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة

“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.

4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:

عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة

“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:

نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه

“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.

6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:

إنتقال الدين من دمة إلى دمة

“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

7. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.

8. Menurut Syafi’i Antonio (1999)[5], hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya (artinya ada satu pihak yang menjamin hutang pihak lain).

9. Menurut Bank Indonesia (1999), hawalah adalah akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal’alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhal’alaih. Muhal’alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.

Fuqaha berpendapat bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu muamalah memandang persetujuan kedua belah pihak diperlukan.[6]

Fuqaha yang menempatkan kedudukan orang yang menerima perpindahan utang terhadap orang yang dipindahkan piutangnya sama dengan kedudukan orang yang dipindahkan piutangnya terhadap debitur (orang yang memindahkan utang) tidak memegangi persetujuan orang yang menerima perpindahan utang bersama orang yang dipindahkan piutangnya, seperti ia juga tidak memegangi persetujuan itu bersama orang yang memindahkan utang (debitur) manakala ia meminta haknya dan tidak memindahkannya kepada seseorang.[7]

Hiwalah sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dab qabul dan menjadi sah dengan sikap yang menunjukkan hal tersebut seperti : "Aku hiwalahkan kamu", "Aku ikutkan kamu dengan hutangku padamu kepada si Fulan", dan lain-lainnya.

2. 2. 2 Landasan Hukum Hiwalah

Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:[8]

1. Hadits

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:

مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, maka terimalah hawalah itu”.

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).

Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.[9]

2. Ijma’

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban financial.


[1] Drs. H. Hendi Suhendi M.Si, Fiqh Muamalah, hal: 99

[2] Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif, Cet 1, 1987.

[3] Pendapat Abdurrahman al-jaziri

[4] Drs. H. Hendi Suhendi M.Si, Fiqh Muamalah, hal: 99

[5] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis TRANSAKSI PERBANKAN SYARI’AH, hal:29

[6] Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid" Kitab Al-Hiwalah, Jakarta : Pustaka Amani, 2002.

[7] Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid, Op, Cit. h 264.

[8] Wabah Zuhaili

[9] Sabiq, Sayyid, Op,Cit hal 40.

Analisis Risiko Murabahah

Analisis Risiko Pembiayaan
dengan Akad Murabahah pada Bank Syariah

Oleh : M. Budiyoso Taruno (STEI SEBI Jakarta)

Salah satu skim fiqih yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi ini sering dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.

Jadi singkatnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.[1] Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Murabahah dalam Fikih Islam merupakan bentuk jual beli yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan pada mulanya.[2] Oleh karena itu, beberapa ulama kontemporer telah membolehkan penggunaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan syarat-syarat tertentu yang harus diperhatikan:[3]

v Harus selalu di ingat bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghindar dari “bunga” dan bukan merupakan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi Islam. Sehingga, instrumen ini hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses Islamisasi ekonomi, dan penggunaannya hanya terbatas pada kasus-kasus di mana murabahah dan musyarakah tidak dapat diterapkan.

v Murabahah muncul bukan hanya untuk menggantikan “bunga” dengan “keuntungan”, namun sebagai bentuk pembiayaan yang diperbolehkan oleh ulama Syariah dengan syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut Syariah.

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Mazhab Maliki, membolehkan biaya-biaya langsung terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang tersebut.

Mazhab Syafi’i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.

Mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan tersebut dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.

Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Atau Murabahah adalah jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut dari pemasok kemudian menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya – keuntungan (cost – plus profit). Dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al amir bisysyira.[4] Bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi atau biasa disebut uang muka ketika ijab-kabul. Hal ini sekedar menunjukkan bukti keseriusan pembeli. Uang muka inilah yang menjadi jaminan ganti rugi bila nasabah membatalkan transaksi murabahah. Dalam murabahah yang berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.[5]

Aplikasi dalam Perbankan

Aplikasi Murabahah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti Letter of Credit (L/C). Praktek ini paling banyak digunakan karena sangat sederhana dan tidak dipandang asing bagi yang sudah terbiasa bertransaksi di bank umum.

Kalangan perbankan syariah di Indonesia banyak menggunakan akad murabahah secara berkelanjutan seperti untuk modal kerja, padahal sebenarnya, murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Murabahah tidak dapat diterapkan untuk skema modal kerja.[6]

Secara umum, aplikasi murabahah dalam praktek perbankan dapat digambarkan sebagai berikut :




Skema di atas memperjelas bagaimana proses transaksi murabahah antara bank dengan nasabah, di mana; (1) nasabah yang memerlukan barang/kebutuhan melakukan transaksi dengan bank dengan akad murabahah. (2) Barang/kebutuhan nasabah, dijelaskan spesifikasinya secara mendetail kepada bank, (3) bank melakukan pemesanan kepada supplier dengan spesifikasi yang sesuai dengan pesanan nasabah, (4) Bank melakukan pembayaran secara tunai kepada supplier, (5) Supplier/bank dapat menyerahkan secara tunai barang yang dipesan oleh nasabah, (6) nasabah melakukan pembayaran secara tunai atau pun cicilan kepada bank dengan keuntungan bank yang sudah disepakati sebelumnya.

Dalam membayar cicilan murabahah oleh nasabah, apabila nasabah mempercepat kewajiban pembayarannya sebelum jatuh tempo, maka bank memperbolehkan mengurangi bagian keuntungannya, yaitu dengan cara dikreditkan ke rekening piutang murabahah. Apabila terjadi penundaan membayar kewajiban dengan sengaja, maka nasabah membayar denda, dengan jumlah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama pada saat akad ditandatangani. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah untuk lebih disiplin terhadap kewajibannya. Denda tersebut diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan) bukan untuk pendapatan bank.[7]

Analisis Risiko dengan Akad Murabahah

Dalam analisis risiko dengan akad murabahah ini akan dibahas dari dua sisi yaitu, dari pihak bank sebagai pemberi pembiayaan dan dari pihak nasabah sebagai penerima pembiayaan.

Dari pihak Bank :

1. Murabahah, sekalipun menyangkut jual beli barang tetapi pada hakekatnya adalah transaksi pembiayaan. Dan fungsi bank tetap sebagai pedagang jasa yang memberikan fasilitas pembiayaan, bukan sebagai pedagang barang. Karena secara yuridis, adalah nasabah yang membeli barang dari pemasok bukan bank. Dan bank hubungannya dengan pemasok barang adalah sebagai kuasa dari dan atas nama nasabah bank. Dengan demikian bank harus dapat menyadari risiko, manakala terjadi penggugatan oleh pemasok barang apabila pemesanan barang dari nasabah dibatalkan. Atau terjadi pembatalan ketika barang tersebut sudah berada di tangan bank. Dan bank harus menanggung semua dari pembatalan pemesanan tersebut.

2. Apabila terjadi penundaan kewajiban membayar disebabkan karena ketidakmampuan nasabah, maka bank tidak diperbolehkan meminta nasabah membayar jumlah tambahan sebagai denda tetapi bank menunggu nasabah sampai mampu membayar cicilan. Inilah kerugian yang harus ditanggung bank ketika nasabah tidak mampu membayar sesuai dengan jatuh tempo pembayaran yang disepakati bersama.

3. Fluktuasi harga, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut ketika akad sudah ditandatangani.

4. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab: (a) Barang yang di kirim rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi; (b) Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan.

5. Dijual; karena murabahah bersifat jual-beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian resiko default akan besar.

Dari pihak Nasabah :

1. Dalam setiap pendesainan sebuah pembiayaan murabahah, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah (1) kebutuhan nasabah; (2) kemampuan finansial nasabah. Dalam hal kemampuan finansial nasabah ketika dalam perjalanannya si nasabah tidak mampu meneruskan cicilannya ini yang menjadi beban moral bagi nasabah dan juga kemungkinan ketika ingin mengajukan pembiayaan lagi bank syariah akan berpikir dua kali, apakah nasabah ini ketika pembiayaannya diterima mampu melunasi cicilannya.

2. Barang yang diterima nasabah rusak ketika diterima. Hal ini yang menjadi kerugian bagi nasabah seharusnya bisa memanfaatkan barangnya ketika diterima dari supplier atau dari bank.

3. Barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan sehingga nasabah harus menolak barang yang dikirim oleh pihak supplier atau bank.

Daftar Pustaka

Karim, Adiwarman, Ir, S.E., M.B.A., M.A.E.P. BANK ISLAM Analisis Fiqih dan Keuangan.

Jakarta: Rajawali Pers. 2004.

Nazir, Habib, Dr. dan Muhammad Hassanuddin, S. Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah.

Jakarta : Kaki Langit. 2004.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan.

Jakarta; Bank Indonesia dan Tazkia Institute. 1999.

Rivai, Prof. Dr. H. Veithzal, dkk. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia System.

Jakarta : Rajawali Pers. 2007.

KarimSyah Law Firm. Karakteristik Perbankan Syariah diringkas dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59


[1] Karim, Adiwarman, S.E., M.B.A., M.A.E.P. BANK ISLAM Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.

[2] Rivai, Prof. Dr. H. Veithzal, dkk. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia System. Jakarta : Rajawali Pers. 2007.

[3] Ibid,

[4] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta; Bank Indonesia, Tazkia Institute. 1999.

[5] Op Cit, hal 115

[6] Nazir, Habib, Dr. Dan Muhammad Hassanuddin, S. Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Jakarta : Kaki Langit. 2004.

[7] KarimSyah Law Firm. Karakteristik Perbankan Syariah diringkas dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59

Obligasi Ijarah

Obligasi Ijarah

Ijarah merupakan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang/jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut. Pemegang obligasi ijarah akan mendapatkan keuntungan berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan. Penerapan akad ijarah untuk obligasi syariah dapat merujuk pada penerbitan obligasi ijarah Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel ini mengeluarkan obligasi ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah, dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan pokok dana obligasi. Fee ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi. Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.

Gambar 4 : Model Skim Sukuk Ijarah

Obligasi Mudharabah

Obligasi Mudharabah

Obligasi mudharabah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan menggunakan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagi-hasilkan. Secara praktek obligasi mudharabah dikeluarkan oleh perusahaan (mudharib/emiten) kepada investor (sahibul maal) dengan tujuan untuk pendanaan proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik berdasarkan nisbah tertentu yang telah disepakati. Tapi tidak ditentukan presentasenya di perjanjian awal (fixed pre-determined). Nisbahnya merupakan rasio pembagian keuntungan riil dengan basis profit-loss sharing.

Gambar 3: Model Skim Sukuk Mudharabah

Sebagai contoh, Berlian Laju Tanker telah menerbitkan obligasi mudharabah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan (34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES dan KSEI ini memperoleh keuntungan dari bagi hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai pendapatan.

Perbandingan Obligasi & Sukuk

Perbandingan Obligasi dan Sukuk

Obligasi Konvensional

Syariah Mudharabah

Syariah Ijarah

Akad (Transaksi)

Tidak Ada

Mudharabah (Bagi Hasil)

Ijarah (Sewa/Lease)

Jenis Transaksi

-

Uncertainty Contract

ertainty Contract

Sifat

Surat Hutang

Investasi

Investasi

Harga Penawaran

100%

100%

100%

Pokok Obligasi saat Jatuh Tempo

100%

100%

100%

Kupon

Bunga

Pendapatan/Bagi Hasil

Imbalan/Fee

Return

Float/Tetap

Indikatif berdasarkan Pendapatan/Income

Ditentukan sebelumnya

Fatwa Dewan Syariah Nasional

Tidak Ada

No. 33/DSN-MUI/IX/2002

No: 41/DSN-MUI/III/2004

Jenis Investor

Konvensional

Syariah/Konvensional

Syariah/Konvensiona

Sumber: Iggi Achsien (2005)

Definisi Kartu Kredit

Definisinya Secara Bahasa
Kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk po-tongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.

Definisi Kartu Kredit Secara Terminologis
Kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kalau kita terjemahkan kata ‘kredit giro’ ini secara langsung artinya adalah kartu pinjaman. Atau kartu yang memberikan kesempatan kepada pembawanya untuk mendapatkan pinjaman.

B. Macam-Macam Kartu Kredit
Kartu kredit adalah bagian dari beberapa bentuk kartu kerja sama finansial. Kartu kredit ini terbagi menjadi dua:

1. Kartu Kredit Pinjaman yang Tidak Dapat Diperbaharui (Charge Card)
Di antara keistimewaan paling menonjol dari kartu ini adalah diharuskannya menutup total dana yang ditarik secara lengkap dalam waktu tertentu yang diperkenankan, atau sebagian dari dana tersebut. Biasanya waktu yang diperkenankan tidak lebih dari tiga puluh hari, namun terkadang bisa mencapai dua bulan. Kalau pihak pembawa kartu terlambat membayarnya dalam waktu yang telah ditentukan, ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan kalau ia menolak membayar, keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik kembali dan persoalannya diangkat ke pengadilan.

2. Kartu Kredit Pinjaman yang Bisa Diperbaharui (Revolving Credit Card)
Jenis kartu ini termasuk yang paling popular di berbagai negara maju. Pemilik kartu ini diberikan pilihan cara menutupi semua tagihannya secara lengkap dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat diikutkan pada tagihan berikutnya. Bila ia menunda pembayaran, ia akan dikenakan dua macam bunga. Pertama bunga keterlambatan, kedua bunga dari sisa dana yang belum ditutupi. Kalau ia berhasil menutupi dana tersebut dalam waktu yang ditentukan, ia hanya terkena satu macam bunga saja, yaitu bunga penundaan pembayaran. Dana yang ditarik tidak akan terbatas bila pemiliknya terus saja melunasi tagihan beserta bunga kartu kreditnya secara simultan.

Pendudukan Masalah Secara Fiqih Seputar Kartu Kredit
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut. Sedetail apa pengetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.

Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita ulas secara berurut sebagai berikut.
Pertama: Kaitan Antara Kartu Tersebut Dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya Dalam 'Transaksi Pengeluaran Kartu'. Banyak sudah kajian fiqih seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang mengeluarkannya,
atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk berhubungan dengan pihak lain.

Kemungkinan gabungan antara jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan, kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan penjamin dalam arti sesungguhnya.

Kedua: Hubungan Antara Kartu Ini Dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak Pedagang. Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak yang menge-luarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraankartu tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang mengeluarkan kartu itu
dalam hubungannya dengan jual beli. Jadi yang dijadikan sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan kepada nasabah untuk dijual. Jual beli ini mirip dengan jual beli dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta dibelikan barang.

Kemungkinan pendudukan masalah paling menonjol terhadap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah pendudukan masalah yang membuka peluang disyariatkannya transaksi atau pendebetan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara di sini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang memberikan jaminan. Adapun upah dalam sistem jual beli dengan penjaminan, dibolehkan dalam kondisi apapun.

Ketiga: Hubungan Antara Pemilik Kartu dengan Pedagang Sudah berkali-kali juga dikeluarkan kajian fiqh berkaitan dengan hubungan ini, antara keberadaannya sebagai sistem hiwalah, dimana pihak pemegang kartu mengalihkan hutangnya pada pedagang kepada pihak yang mengeluarkan kartu, dimana Hilawah semacam itu dapat direalisasikan dengan menandatangani rekening pembelian, antara keberadaan kartu itu yang demikian dengan keberadaannya sebagai mediator jual beli atau sewa menyewa. Sehingga transaksinya dibagi dua, antara posisi jual beli atau sewa menyewa, dengan objek transaksi pembuatan kartu. Kemudian tanggung jawab pembayaran dilimpahkan kepada pihak yang mengeluarkan kartu yang telah menjamin untuk me-nutupi biaya yang ditarik berupa pembelian atau penyewaan.

Hukum-hukum Syariat Tentang Kartu Kredit
Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut sebagian di antaranya:

Pertama: Persyaratan Berbau Riba
Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama Fiqih kontemporer ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua kubu:

Pertama: Kubu yang membolehkan. Mereka menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat komitmen tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah sebagai berikut:

1. Sabda Nabi kepada Aisyah ketika Aisyah hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya kecuali dengan syarat, hak wala' budak itu tetap milik mereka. Itu jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena loyalitas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang yang membebaskannya. Nabi bersabda kepada Aisyah, "Belilah budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu adalah hak orang yang membebaskannya,"

Makna hadits: Janganlah pedulikan, karena persyaratan mereka itu bertentangan dengan yang haq, ini bukan untuk pembolehan namun yang dimaksudkan adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada. Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa yang menegakkan syariat Allah.

2. Karena sudah terlalu banyak yang melakukannya di berbagai negeri dengan adanya transaksi pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu. Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan fasilitas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di dalamnya.

3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena batalnya persyaratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi: "Kenapa masih ada orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah? Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus syarat."

Kubu kedua, yakni yang melarangnya. Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.

1. Mereka membantah dalil yang digunakan oleh kubu pertama, yakni tentang hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda. Karena dalam kasus Barirah syarat tersebut mampu dibatalkan oleh Aisyah karena dianggap bertentangan dengan ajaran syariat. Karena kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang melibatkan agama dalam kehidupan manusia?

2. Mereka juga membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon, karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan umat manusia amat tergantung kepadanya.
Sementara kartu kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.

Yang benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan segala cara yang bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut. Wallahu A'lam.

Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang mengeluarkan kartu dari bayaran untuk pedagang.
Sudah dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara syar'i yang paling tepat berkaitan dengan hal tersebut?

Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas tentang jenis kartu tersebut. Sebagian ada yang mendudukkan prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah boleh-boleh saja.

Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang, seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang, sehingga layak mendapatkan upah karenanya.

Sebagian menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.

Sebagian ada juga yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.

Apapun pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya, dan juga agar dapat menarik para pelanggan untuk membeli barang kepada pedagang tersebut, mempermudah proses jual beli mereka, lalu pihak bank yang mengeluarkan kartu itu dan pihak bank lain yang hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa tersebut untuk kepentingan pedagang.

Lembaga Syariat Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membolehkan uang administrasi ini dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga barang. Sistem pemotongan ini diambil dari pihak penjual untuk kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa internasional.

Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang membolehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yordania, dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab terjadinya banyak hal, seperti lakunya barang-barang yang dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.

Ketiga: Denda Keterlambatan dan Bunga Riba

Pihak yang mengeluarkan kartu ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui turun-nya ayat al-Qur'an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh Allah dan Rasul-Nya!!.

Bagaimana Mengatasi Problematika Keterlambatan Pembayaran Hutang?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar hutang adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana persoalan keterlambatan pembayaran hutang itu bisa diatasi dalam bingkai ajaran Islam?

Ada sebagian alternatif untuk bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya: Memberikan kelonggaran kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya. Membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kreditnya kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berperilaku sepertinya.