Jumat, 02 Januari 2009

Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi

Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi Pertukaran
Oleh : Hendro Wibowo

I. Pendahuluan
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi).
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق( رواه احمد)
“Hendaklah kamu kuasai berbisnis Karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)

Sejak zaman Rasulullah SAW telah melarang semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty), berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani Umayyah dan Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan memformalisasikan praktik bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
I. 1. Urgensi Kajian
Dasar hukum mumalah Islam menuntut semua sistem kegiatan bisnis harus berjalan secara jelas, terukur, terbuka dan adil sebisa mungkin, dalam ungkapan lain ketidakpastian harus diminimalisir sebisa mungkin dalam sistem transaksi keuangan terutama sistem keuangan modern sekarang.
Dalam paper ini dimana tulisan ini lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik. Meliputi beberapa pembahasan antara lain Bagian 2 menjelaskan tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar” seperti game, zero sum-game, dan sebagainya. Bagian 3, penulis mencoba melakukan komparasi antara konsep gharar dan zero sum-game yang dikenal dalam keuangan konvensional. Bagian 4 menampilkan metode pengukuran eksistensi gharar berdasarkan panduan syariah. Bagian 5 memberikan identifikasi terhadap beberapa transaksi yang ”dicurigai” mengandung gharar. Bagian 6 memaparkan tentang aplikasi konsep zero sum-game dalam transaksi keuangan modern. Bagian 7 tentang signifikansi dari konsep zero sum-game dan bagian akhir ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Pelarangan gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.


2. Pengertian Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya.[4] Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya.[5]
Sehingga, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian secara istilah, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian.[6] Seperti dalam paper menurut Zaki Badawi (1998, p. 16) mengenai harga dari gharar suatu hal tidak pasti.

2.1. Dalil tentang pelarangan gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar
Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[7]
عن جابر أن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة والمزابنة والثنيا إلا أن تعلم. (رواه الترميذى)
“Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).

لا تبع ما ليس عندك (رواه الخمسة عن حكيم بن حزام)
“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R.Khamsah dari Hakim bin Hizam).

Dalam satu hadist Rasulullah SAW :

عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار (رواه مسلم)
“Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (HR Muslim).

عن البن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلعم نهى عن بيع حبل الحبلة (رواه البخاري و مسلم)

“Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah saw telah melarang penjualan sesuatu (anak onta) yang masih dalam kandungan induknya”. (H.R.Bukhari Muslim)

2.2. Hukum-hukum Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:[8]
Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya
Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga mengharamkannya.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”

2.3. Klasifikasi gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh ( ).
b. Zero Sum Game
seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi)[9] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.

c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi).[10] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.[11]
Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.[12] Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper Al Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:[13]
a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.
b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.
Dalam Islam Risiko dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut.[14] Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.[15]
Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang).[16] Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :

Tergantung pada hasil
Tidak tergantung pada hasil
Dengan adanya upaya (game of skill)
Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90
Diperbolehkan/ Lawfull
Tanpa adanya upaya (game of chance)
Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90
Diperbolehkan/ Lawfull
[1] Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal, Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
[2] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[3] Majmu Fatawa, 29/22
[4] Al-‘Assal, Ahmad Muhammad & Abdul Karim, Fathi Ahmad. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Terjemahan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
[5] Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, 23:786.
[6] idem
[7] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, hal 459
[8] ibid Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad hal 289.
[9] Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
[10] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
[11] al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
[12] Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
[13]Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.
[14] Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.
[15] M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250
[16] Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.

Riba dan Jawaban Pelarangan

ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA DAN JAWABANNYA

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Jawaban:
Harus jelas pengertian darurat
Imam Syututi: darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran dan kematian (al-Asybah wa an Nadzoir, h.85)
Dispensasi darurat harus sesuai dengan kaidah ushul fiqih “Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya” (Adh-Dhorurot tuqoddaru bi qodariha)
Darurat ada masa berlakunya dan batasan ukuran dan kadarnya
Riba (bunga) dalam kondisi sekarang sudah tidak darurat lagi, kecuali dalam beberapa hal seperti yang dijelaskan dalam fatwa MUI

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan. Berlandaskan surat Ali Imran ayat 30
Jawaban:
Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai “hal” atau sifat dari riba pada masa itu, bukan merupakan syarat.
Dr. Abdullah Draz, menepis hal itu. karena dho’f (berlipat ganda biasanya 2 x lipat), sedangkan bentuk adh’af (bentuk jamak/3 atau lebih) sehingga menjadi 3X2=6 kali lipat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekwensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
Ayat tersebut merupakan tahapan turun ayat riba; yaitu ar Rum 39, an-nisa 160-161, ali imron 130, al-baqarah 278-279.
Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya “Fawathir al-A’maali Al-Mashrafiyah bimaa yattafiqu wasy-syariah al-Islamiyah” menjelaskan bahwa ayat itu berkenaan dengan pinjam meminjam barang bergerak yang dilakukan bangsa arab. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhod) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint laun). Kalau meminjamkan bit laboun, meminta kembalian haqqoh (berumur 4 tahun).
Surat ali Imron ayat 130 diturunkan pada than ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama Surat al-Baqarah ayat 278-279 yang turn pada tahun ke-9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagad” untuk segala bentuk ukuran, kadar, dan jenis riba.

3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba. Sebab, ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah arb, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu/perorangan. Dengan demikian bank tidak terkena hukum taklif karena pada zaman nabi hidup belum ada bank.
Jawaban:
Tidak benar bahwa pada zaman pra-Nabi tidak ada “badan hukum” sama sekali. sejarah Romawi, Persia, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat penegsahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyyah Hukmiyyah. Secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari segi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perorangan. Pengedar narkoba secara perorangan lebih kecil dampaknya dibanding dengan organisasi mafia pengedar narkoba. Karena lembaga/badan melakukan fi’il mukallaf, maka dia seperti mukallaf

4. Di antara alasan yang dikemukakan untuk pembenar pengambilan bunga adalah alasan abstinence, bahwa ketika kreditor manahan diri (abstinence), ia menangguhkan keinginannnya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya. oleh karena itu wajar dia mendapatkan bayaran sewa atas uang yang dipinjamkannya.
Jawaban:
Kenyataannya, kreditor hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri. Kreditor hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan. Dengan demikian kreditor sebenarnya tidak menahan diri atas apapun.
Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence.
Dalam tinjauan syariah “unsur penundaan konsumsi” atau penundaan invesatasi tidak dapat dijadikan illat dalam penetapan hukum. Para ulama merumuskan:
من شروط العلة ان تكون وصفا ظاهرا منضبطا
“salah satu syarat illat hukum (argumentasi hukum) adalah sifat yang jelas, zahir, tetap/konsisten”
Feeling seseorang yang menunggu dan melakukan tindakan abstinence itu sangat berbeda-beda.

5. Mereka beralasan bahwa ketika meminjamkan uang, sebenarnya mereka sedang menyewakan uang, jadi riba (bunga) diperbolehkan seperti halnya menyewakan barang dalam bentuk uang.
Jawaban:
sewa hanya dikenakan terhadap barang-barang seperti rumah, perabotan, alat transportasi dan lain sebagainya, yang bila digunakan akan habis, rusak, dankehilangan sebagain dari nilainya.
Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang yang surut, rusak dan memerlukan baiya perawatan. adapun uang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori tersebut
Dalam disiplin ilmu ekonomi barat, kita seringkali mendapatkan rumus yang mendapatkan posisi rent, wage, dan interest
{(r)K; (w)L; (i)M}
(r)K berarti rent untuk Kapital
(w)L berarti wage untuk Labour
(i)M berarti interest untuk Money

6. Sebagian orang ada yang mengharamkan bunga pada pinjaman konsumtif, sedangkan pada pinjaman produktif maka mengambil bunga (riba) adalah halal dan diperbolehkan.
Jawaban:
Jika dalam menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam?
Jika si pemeberi pinjaman (kerditor) disuruh melakukan bisnisnya sendiri, apakah pasti ia mendapat keuntungan?
Kreditor bisa saja menginvestisaiskan odalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan. bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan kerjasama usaha dan berbagi keuntungan (mudhorobah), bukan meminjamkan modal dengan menarik bunga tanpa menghhiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
Seandainya ia ingin membantu untuk tujuan kemanusiaan, hukum yang berlaku adalah qardhul hasan atau pinjaman kebaikan.
من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له و له أجر كريم
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada allah pijaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-haid: 11)

7. Sebagian orang beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditor menunggu atau menahan diri dari menggunakan modal sendiri dalm memenuhi keinginannya. Hal itu serupa dengan memberikan waktu kepada si peminjam. Dengan waktu itulah orang yang berutang memilki kesempatan menggunkan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, waktu mempunyai harga yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Hal itu dijadikan alasan para kreditor berhak menikmati sebagian keuntungan peminjam. Besar kecilnya keuntungan dikaitkan dengan besar kecilnya waktu. Pandangan ini disebut dengan OPOORTUNIT COST (Biaya kesempatan).
Jawaban:
Bagaimana mungkin kerditor memastikan keuntungan peminjam dan bukan kerugian atas investasi modalnya?
Atas dasar apa kreditor berkeyakinan bahwa peminjam akan selalu memperoleh keuntungan secara tetap, sehingga ia berhak ikut memperoleh keuntungan
Tidak benar jika ada anggapan bahwa jika dana diusahakan secaar syariah berarti opportunity itu akan hilang sama sekali. seluruh akad bisnis syariah memebrikan peluang kepada kedua belah pihak untuk memetik keuntungan yang adil dan proporsional.

8. Teori kemutlakan produktivitas modal. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa modal adalah produktif dengan sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dihasilkan tanpa modal. dengan demikian, pemberi pinjaman layak untuk mendapatkan imabalan bunga..
Jawaban:
Modal bukan sendirinya menjadi produktif. Modal bisa menjadi produktif apabila digunakan seseorang untuk bisnis yang mendatangkan keuntungan. Bila untuk konsumsi, modal sama sekali tidak produktif.
Bila modal digunakan untuk produksi pun, tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanam modal sering menipiskan keuntungan, bahkan bisa menjadi kerugian.
Bila modal dianggap memiliki produktifitas, sebenarnya produktivitas tersebut bergantung kepad faktor lain, seperti riset, marketing, keuangan,kemampuan, visi dan pengalaman. Belum lagi kondsi ekonomi, sosial dan poitik.
Meskipun modal memiliki potensi produktivitas, akan tetapi tidak ada cara untuk mengetahui secara tepat dan pasti nilai potensi keuntungan yang adil, baik pada saat stabil maupun krisis.

9. Teori Nilai Uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang. Beberapa hli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa datang. sehingga mereka membolehkan bunga karena menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini. Boehm Bawerk, pendukung utama pendapat ini , menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu yang mendatang akan berkurang; yaitu sebagai berikut:
keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang, sednagkan keuntungan masa kini sangat jelas dan pasti.
Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada waktu yanga kan datang. Pada masa yang kan datang, mungkin saja seseorang tidak mempunyai kehendak semacam sekarang.
Kenyatataannya, barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna. dengan demikian, barang-barang tersebut memunyai nilai lebih tinggi dibanding dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.
Jawaban:
Tidak selalu benar anggapan bahwa kehendak masa kini lebih penting dan berharga daripada keinginan pada masa depan. sebab banyak orang tidak mmbelanjakan seluruh pendapatannya sekarang, tetapi menyimpannya untuk keperluan pada masa yang akan datang
Teori ini menyebut bahwa Rp 100 juta hari ini adalah sama dengan Rp. 125 juta tahun mendatang. selisih sebesar Rp 25 juta merupakan bunga. Dalam contoh ini ada yang salah yaitu kemutlakan, kepastian. Tidak boleh ada yang pasti.
Islam sangat menghargai waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu. Karena hasil nyata dari optimaslisasi waktu itu variable, bergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik dll.

10. Teori Inflasi. Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli uang atau decrasing purchasing power of money. Oleh karena itu,menurut penganut paham ini, pengambil bungan uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.
Jawaban;
Situasi ekonomi tidak selama terjadi inflasi. Bisa jadi kondisi stabil
Islam telah menyediakan skim muamalah yang sesuai dengan syariat dalam menghadapi inflasi secara komprehensif. Bukan hanya keuntungan sebagai antisipasi dari menurunnya nilai uang akibat inflasi. tetapi juga mencegah terjadinya inflasi itu sendiri karena pembiayaan dalam bank syariah hanya untuk sektor riil yang akan menggiatkan roda ekonomi.
Pembungaan itu sendiri akan menimbulkan dan melhairkan inflasi itu sendiri. Jadi bunga saja sudah memberi andil terciptnya inflasi, selain faktor lain.

Riba dan Jawaban Pelarangan

ALASAN PEMBENARAN PENGAMBILAN RIBA DAN JAWABANNYA

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
Jawaban:
Harus jelas pengertian darurat
Imam Syututi: darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran dan kematian (al-Asybah wa an Nadzoir, h.85)
Dispensasi darurat harus sesuai dengan kaidah ushul fiqih “Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya” (Adh-Dhorurot tuqoddaru bi qodariha)
Darurat ada masa berlakunya dan batasan ukuran dan kadarnya
Riba (bunga) dalam kondisi sekarang sudah tidak darurat lagi, kecuali dalam beberapa hal seperti yang dijelaskan dalam fatwa MUI

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan. Berlandaskan surat Ali Imran ayat 30
Jawaban:
Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai “hal” atau sifat dari riba pada masa itu, bukan merupakan syarat.
Dr. Abdullah Draz, menepis hal itu. karena dho’f (berlipat ganda biasanya 2 x lipat), sedangkan bentuk adh’af (bentuk jamak/3 atau lebih) sehingga menjadi 3X2=6 kali lipat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekwensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam.
Ayat tersebut merupakan tahapan turun ayat riba; yaitu ar Rum 39, an-nisa 160-161, ali imron 130, al-baqarah 278-279.
Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya “Fawathir al-A’maali Al-Mashrafiyah bimaa yattafiqu wasy-syariah al-Islamiyah” menjelaskan bahwa ayat itu berkenaan dengan pinjam meminjam barang bergerak yang dilakukan bangsa arab. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhod) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint laun). Kalau meminjamkan bit laboun, meminta kembalian haqqoh (berumur 4 tahun).
Surat ali Imron ayat 130 diturunkan pada than ke-3 H. Ayat ini harus dipahami bersama Surat al-Baqarah ayat 278-279 yang turn pada tahun ke-9 H. Para ulama menegaskan bahwa pada ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jagad” untuk segala bentuk ukuran, kadar, dan jenis riba.

3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba. Sebab, ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah arb, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu/perorangan. Dengan demikian bank tidak terkena hukum taklif karena pada zaman nabi hidup belum ada bank.
Jawaban:
Tidak benar bahwa pada zaman pra-Nabi tidak ada “badan hukum” sama sekali. sejarah Romawi, Persia, Persia, dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat penegsahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain perseroan mereka telah masuk ke lembaran negara.
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyyah Hukmiyyah. Secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Dilihat dari segi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perorangan. Pengedar narkoba secara perorangan lebih kecil dampaknya dibanding dengan organisasi mafia pengedar narkoba. Karena lembaga/badan melakukan fi’il mukallaf, maka dia seperti mukallaf

4. Di antara alasan yang dikemukakan untuk pembenar pengambilan bunga adalah alasan abstinence, bahwa ketika kreditor manahan diri (abstinence), ia menangguhkan keinginannnya memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain. Ia meminjamkan modal yang semestinya dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya. oleh karena itu wajar dia mendapatkan bayaran sewa atas uang yang dipinjamkannya.
Jawaban:
Kenyataannya, kreditor hanya akan meminjamkan uang yang tidak ia gunakan sendiri. Kreditor hanya akan meminjamkan uang berlebih dari yang ia perlukan. Dengan demikian kreditor sebenarnya tidak menahan diri atas apapun.
Tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan konsumsi dari teori bunga abstinence.
Dalam tinjauan syariah “unsur penundaan konsumsi” atau penundaan invesatasi tidak dapat dijadikan illat dalam penetapan hukum. Para ulama merumuskan:
من شروط العلة ان تكون وصفا ظاهرا منضبطا
“salah satu syarat illat hukum (argumentasi hukum) adalah sifat yang jelas, zahir, tetap/konsisten”
Feeling seseorang yang menunggu dan melakukan tindakan abstinence itu sangat berbeda-beda.

5. Mereka beralasan bahwa ketika meminjamkan uang, sebenarnya mereka sedang menyewakan uang, jadi riba (bunga) diperbolehkan seperti halnya menyewakan barang dalam bentuk uang.
Jawaban:
sewa hanya dikenakan terhadap barang-barang seperti rumah, perabotan, alat transportasi dan lain sebagainya, yang bila digunakan akan habis, rusak, dankehilangan sebagain dari nilainya.
Biaya sewa layak dibayarkan terhadap barang yang surut, rusak dan memerlukan baiya perawatan. adapun uang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori tersebut
Dalam disiplin ilmu ekonomi barat, kita seringkali mendapatkan rumus yang mendapatkan posisi rent, wage, dan interest
{(r)K; (w)L; (i)M}
(r)K berarti rent untuk Kapital
(w)L berarti wage untuk Labour
(i)M berarti interest untuk Money

6. Sebagian orang ada yang mengharamkan bunga pada pinjaman konsumtif, sedangkan pada pinjaman produktif maka mengambil bunga (riba) adalah halal dan diperbolehkan.
Jawaban:
Jika dalam menjalankan bisnisnya peminjam mengalami kerugian, dasar apa yang dapat membenarkan kreditor menarik keuntungan tetap secara bulanan atau tahunan dari peminjam?
Jika si pemeberi pinjaman (kerditor) disuruh melakukan bisnisnya sendiri, apakah pasti ia mendapat keuntungan?
Kreditor bisa saja menginvestisaiskan odalnya pada usaha-usaha yang baik agar ia menuai keuntungan. bila itu yang menjadi tujuan, cara yang wajar dan praktis baginya adalah dengan kerjasama usaha dan berbagi keuntungan (mudhorobah), bukan meminjamkan modal dengan menarik bunga tanpa menghhiraukan apa yang terjadi di sektor riil.
Seandainya ia ingin membantu untuk tujuan kemanusiaan, hukum yang berlaku adalah qardhul hasan atau pinjaman kebaikan.
من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له و له أجر كريم
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada allah pijaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-haid: 11)

7. Sebagian orang beranggapan bahwa dengan meminjamkan uangnya berarti kreditor menunggu atau menahan diri dari menggunakan modal sendiri dalm memenuhi keinginannya. Hal itu serupa dengan memberikan waktu kepada si peminjam. Dengan waktu itulah orang yang berutang memilki kesempatan menggunkan modal pinjamannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, waktu mempunyai harga yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Hal itu dijadikan alasan para kreditor berhak menikmati sebagian keuntungan peminjam. Besar kecilnya keuntungan dikaitkan dengan besar kecilnya waktu. Pandangan ini disebut dengan OPOORTUNIT COST (Biaya kesempatan).
Jawaban:
Bagaimana mungkin kerditor memastikan keuntungan peminjam dan bukan kerugian atas investasi modalnya?
Atas dasar apa kreditor berkeyakinan bahwa peminjam akan selalu memperoleh keuntungan secara tetap, sehingga ia berhak ikut memperoleh keuntungan
Tidak benar jika ada anggapan bahwa jika dana diusahakan secaar syariah berarti opportunity itu akan hilang sama sekali. seluruh akad bisnis syariah memebrikan peluang kepada kedua belah pihak untuk memetik keuntungan yang adil dan proporsional.

8. Teori kemutlakan produktivitas modal. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa modal adalah produktif dengan sendirinya. Modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih banyak daripada yang dihasilkan tanpa modal. dengan demikian, pemberi pinjaman layak untuk mendapatkan imabalan bunga..
Jawaban:
Modal bukan sendirinya menjadi produktif. Modal bisa menjadi produktif apabila digunakan seseorang untuk bisnis yang mendatangkan keuntungan. Bila untuk konsumsi, modal sama sekali tidak produktif.
Bila modal digunakan untuk produksi pun, tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi yang merosot, penanam modal sering menipiskan keuntungan, bahkan bisa menjadi kerugian.
Bila modal dianggap memiliki produktifitas, sebenarnya produktivitas tersebut bergantung kepad faktor lain, seperti riset, marketing, keuangan,kemampuan, visi dan pengalaman. Belum lagi kondsi ekonomi, sosial dan poitik.
Meskipun modal memiliki potensi produktivitas, akan tetapi tidak ada cara untuk mengetahui secara tepat dan pasti nilai potensi keuntungan yang adil, baik pada saat stabil maupun krisis.

9. Teori Nilai Uang pada masa mendatang lebih rendah dibanding masa sekarang. Beberapa hli ekonomi berpendapat bahwa manusia pada dasarnya lebih mengutamakan kehendaknya sekarang dibanding kehendaknya di masa datang. sehingga mereka membolehkan bunga karena menurunnya nilai barang di waktu mendatang dibanding dengan nilai barang di waktu kini. Boehm Bawerk, pendukung utama pendapat ini , menyebut tiga alasan mengapa nilai barang di waktu yang mendatang akan berkurang; yaitu sebagai berikut:
keuntungan di masa yang akan datang diragukan. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpastian peristiwa serta kehidupan manusia yang akan datang, sednagkan keuntungan masa kini sangat jelas dan pasti.
Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia daripada kepuasan mereka pada waktu yanga kan datang. Pada masa yang kan datang, mungkin saja seseorang tidak mempunyai kehendak semacam sekarang.
Kenyatataannya, barang-barang pada waktu kini lebih penting dan berguna. dengan demikian, barang-barang tersebut memunyai nilai lebih tinggi dibanding dengan barang-barang pada waktu yang akan datang.
Jawaban:
Tidak selalu benar anggapan bahwa kehendak masa kini lebih penting dan berharga daripada keinginan pada masa depan. sebab banyak orang tidak mmbelanjakan seluruh pendapatannya sekarang, tetapi menyimpannya untuk keperluan pada masa yang akan datang
Teori ini menyebut bahwa Rp 100 juta hari ini adalah sama dengan Rp. 125 juta tahun mendatang. selisih sebesar Rp 25 juta merupakan bunga. Dalam contoh ini ada yang salah yaitu kemutlakan, kepastian. Tidak boleh ada yang pasti.
Islam sangat menghargai waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam rupiah tertentu. Karena hasil nyata dari optimaslisasi waktu itu variable, bergantung pada jenis usaha, sektor industri, lama usaha, keadaan pasar, stabilitas politik dll.

10. Teori Inflasi. Inflasi secara umum sering dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan. Dengan demikian, terjadi penurunan daya beli uang atau decrasing purchasing power of money. Oleh karena itu,menurut penganut paham ini, pengambil bungan uang sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama dipinjamkan.
Jawaban;
Situasi ekonomi tidak selama terjadi inflasi. Bisa jadi kondisi stabil
Islam telah menyediakan skim muamalah yang sesuai dengan syariat dalam menghadapi inflasi secara komprehensif. Bukan hanya keuntungan sebagai antisipasi dari menurunnya nilai uang akibat inflasi. tetapi juga mencegah terjadinya inflasi itu sendiri karena pembiayaan dalam bank syariah hanya untuk sektor riil yang akan menggiatkan roda ekonomi.
Pembungaan itu sendiri akan menimbulkan dan melhairkan inflasi itu sendiri. Jadi bunga saja sudah memberi andil terciptnya inflasi, selain faktor lain.