Rabu, 18 Juni 2008

MANAJEMEN MONETER EKONOMI MAINSTREAM
Oleh : Umer Chapra

Pembahasan permintaan uang telah menjadi masalah yang kompleks dan sophisticated. Hal ini karena melibatkan beberapa variabel, diantaranya tingkat suku bunga, total transaksi, total output, pengukuran income, permananet income, kekayaan, upah, ekspektasi inflasi, perubahan undang-undang dan financial innovations. [1] Pembahasan yang akan lebih mendalam terhadap implikasi interest-based finacial intermediation pada permintaan uang dan realisasi tujuan-tujuan sosial.

Dengan kerangka model Keynes, permintaan uang mempunyai tiga maksud dan tujuan. Pertama, sebagai medium of exchange (alat pertukaran) untuk membiayai transaksi rumahtangga, perusahaan dan pemerintah akan pembelian barang-barang dan jasadari hari ke hari yang dihubungkan atas konsumsi, investasi, ekspor-impor; kemampuan ekonomi untuk menyediakan ini relatif terbatas dalam jangka pendek. Kedua, sebagai way of precautionary ( untuk jaga-jaga) untuk memuaskan kebutuhan yang tak terduga sebelumnya yang tidak mungkin seseorang dapat memprediksikannya secara tepat. Ketiga, digunakan untuk mengerahkan kesempatan (opportunity) pendapatan melalui spekulasi dalam komoditas, saham, perdagangan luar negeri dan pasar uang. Bagaimanapun, baik agen rumah tangga (household), perusahaan atau pemerintah tidak mempunyai cukup uang untuk semua tujuan ini. Mungkin beberapa dari mereka defisit dan yang lain mungkin surplus. Interaksi anatara sektor yang defisit uang dan surplus uang dengan persediaan uang menentukan tingkat suku bunga. Jadi ini mempengaruhi permintaan uang dari tiga tujuan itu[2].

Jadi, permintaan keseimbangan uang real (Md/P)ditentukan oelh total output real (Y) dan juga tingkat suku bunga (r), sebagaimana terrefleksi dibawah ini:

Md/P = f (Y,r) [3]

Md/P berubah secara langsung oleh Y, dan sebaliknya tidak berubah oleh suku bunga. Output aggregat dan tingkat suku bunga menempati tempat yang sentral dalam pembahasan permintaan uang real dalam ekonomi keynes.

Jika diperhatikan pada penawaran uang, permintaan uang yang terbesar terjadi untuk precautionary demand dan speculative demand sehingga mengakibatkan kurangnya unag yang didapatkan untuk tansactions purpose. Lebih jauh lagi luasnya transaksi permintaan uang yang mungkin sedikit sekali berhubungan dengan kebutuhan yang berkaitan konsumsi (need-related consumption) dan investasi yang produktif, lebih terlihat kepada konsumsi yang mencolok dan investasi yang tidak produktif. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa permintaan uang terbesar pada ekonomi yang terletak pada precautionary demand dan speculative demand dan juga konsumsi yang mencolok dan investasi yang tak produktif mengharuskan ekonomi untuk memuaskan kebutuhan uang untuk pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif dalam sebiah cara yang non-inflationary dan untuk merealisasikan tujuan-tujuan sosial. Jika permintaan uang naik untuk semua tujuan, maka kemungkinan akan ada ketidakseimbangan makroekonomi, tingkat suku bunga real yang lebih tinggi dan tekanan inflasi. Dalam ekonomi, saving dan investment akan cenderung rendah yang ini akan membawa pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tingginya pengangguran, batasan yang jelas terhadap external saving yang merupakan domestic saving . permintaan uang yang kondusif untuk merealisasikan tujuan-tujuan sosial yang dianggap efisien dan equitable dan permintaan uang yang tidak berkontribusi atau gagal untuk merealisasikan tujun tadi dianggap inessential dan unproductive dan yang terjadi kecenderungan terbesar dalam ekonomi adalah mempromosikan permintaan uang yang inessential dan unproductive. Strategi yang terbaik dalam manajemen moneter salah satunya adalah tidak hanya membuat money demand efisien dan equitable tetapi juga membawa kedalam equilibrium yang non-inflationary level pada supply uang. Karena supply uang cenderung terhadap kemudi permintaan dalam sebuah sistem moneter yang teratur yang mempunyai tantangan terbesar dalam cara permintaan uang efisien dan equitable.




[1] Dari semua variable, yang paling kontreversial adalah suku bunga. Pertanyaan inti dalam teori moneter konvensional apakah, to what extent, kuantitas permintaan uang dipengaruhi oleh perubahan suku bunga. Mungkin hanya Friedman lah yang menemukan bahwa permintaan uang insensitive terhadap suku bunga. Sedangkan Laidler (1966) mengunakan data yang sama dengan Friedman, tetapi prosedur statistik yang berbeda, menemukan bahwa permintaan uang sensitive terhadap suku bunga. Tetapi selanjutnya Friedman bersama Anna Schwartz (1982) pun mempunyai kesimpulan yang sama bahwa permintaan uang sensitive terhadap suku bunga.

[2] Dengan formulasi Keynes , hanya permintaan uang yang spekulatif lah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga.

[3] Sebaliknya, Quantity theory of Money yang merupakan reformulasi Keynes (1956), mengatakan bahwa perubahan dalam tingkat suku bunga mempunyai efek yang kecil pada permintaan uang yang itu merupakan fungsi Y.

Samakah Pembiayaan Ijarah dengan Leasing?

Oleh ; Adiwarman Karim

Ijarah adalah salah satu prinsip syariah yang digunakan untuk memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank syariah menurut UU no. 10/1998. Secara fikih ijarah didefinisikan oleh Fatwa DSN MUI sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa / upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Perlu digaris bawahi bahwa ijarah sebagaimana yang didefinisikan oleh DSN MUI tersebut adalah prinsip syariah yang digunakan dalam pembiayaan, bukan akad atau perjanjian pembiayaan itu sendiri. Bila ijarah secara fikih merupakan suatu akad sewa menyewa, maka dalam konteks UU no.10/ 1998 ijarah adalah suatu prinsip dalam penyediaan uang atau tagihan.
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip Syariah itu antara lain pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina, istilah ini dipermakan dengan istilah ijarah mumtahiay bi tamlik). Jadi, perjanjian pembiayaan ijarah dapat diartikan sebagai suatu perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa., bukan kegiatan sewa menyewa itu sendiri.
Definisi pembiayaan yang digunakan dalam UU 10/1998 sebenarnya sangat mirip dengan definisi kredit menurut UU yang sama. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Beda kredit, pembiayaan, dengan leasing

Terdapat perbedaan antara kredit (yang diberikan oleh bank konvensional), pembiayaan (yang diberikan oleh bank syariah) dengan leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan). Oleh karenanya ketentuan hukum tentang pinjam meminjam dalam buku ketiga KUH Perdata tidak berlaku terhadap leasing. Demikian juga tidak berlaku untuk leasing segala ketentuan perbankan yang ada.
Kredit dan pembiayaan ijarah bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan menyewakan barang modal. Kredit terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang yang didanai. Pembiayaan ijarah pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan kredit, bedanya pada prinsip syariah yang digunakan. Perbedaan yang kedua adalah bank dapat memiliki atau tidak memiliki barang yang didanai. Sedangkan pada leasing, paling tidak secara yuridis, lessor merupakan pemilik barang modal.
Jelaslah leasing tidak sama dengan pembiayaan ijarah. Leasing tunduk pada Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan no.KEP122/MK, no.32/M/SK, no. 30/Kpb semuanya tahun 1974. Yang dirinci dalam KMK no.649, Pengumuman Dirjen Moneter no.Peng-307; untuk aspek perpajakan diatur dalam KMK no.650, semuanya tahun 1974. Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan lagi yang mengatur tentang leasing, termasuk untuk aspek perpajakan yang diatur dalam UU no.18/2000 dan PP 143 & PP 144 tahun 2000.Sedangkan pembiayaan ijarah tunduk pada UU no.10/1998, SK Dir BI no.32/34/1999, dan berbagai ketentuan perbankan lainnya.

Beda Ijarah, Sewa Menyewa, Pembiayaan Ijarah dan Leasing
Pembiayaan Ijarah tidak sama dengan Ijarah. Ijarah mempunyai definisi yang sama dengan dengan definisi sewa menyewa. Sedangkan pembiayaan ijarah mempunyai definisi yang sangat mirip dengan definisi kredit, kecuali dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah. Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa.
Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal atau bersama-sama dengan penyandang dana lainnya. Sementara objek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau oleh lessee sendiri. Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang objek sewa adalah memang miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan barang objek sewa.
Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya. Yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya. Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59, misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari barang.
Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah.
Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa dan pada ijarah tidak ada jaminan tersebut. Kalaupun diminta jaminan pada sewa dan pada ijarah biasanya berupa security deposit (titipan jaminan pembayaran sewa). Sedangkan pada leasing diminta jaminan berupa personal guarantee, fidusia terhadap barang modal yang bersangkutan, kuasa menjual barang modal, dan lain lain. Pada pembiayaan ijarah, karena bentuknya adalah penyediaan uang atau tagihan, sama dengan bentuk kredit, jaminan yang diminta sama dengan jaminan pada kredit. Bentuknya dapat berupa APHT, fidusia, cessie, guarantee, dan lain lain.

Beda IMBT, sewa beli, pembiayaan IMBT dan Leasing

IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan. Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.
Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya.
Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.(br)
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.
Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.

Keseimbangan Harga

Keseimbangan Harga Menurut Ibnu Khaldun

(Adiwarman A Karim)

Siapa tak kenal Ibn Khaldun. Bagi dunia Islam ia adalah seorang ulama ternama, sedangkan bagi para ekonom ia dikenal sebagai salah seorang bapak ilmu ekonomi. Ahli sejarah ekonomi terkemuka, Joseph Schumpeter, mencatat nama Ibn Khaldun di dua tempat dalam bukunya History of Economic Analysis.

Karya monumental Ibn Khaldun adalah Al-Muqaddimah yang menjadi sumber dari berbagai ilmul sosial seperti sejarah, psikologi, geografi, ekonomi, dan sebagainya. Ulama yang lahir di Tunisia (1332) dan wafat di Kairo (1406) ini juga diakui oleh penasihat ekonomi Presiden Reagen sebagai inspirator teori pajak yang dikenal dengan nama Kurva Laffer.
Di dalam Al-Muqaddimah , Khaldun menulis secara khusus satu bab berjudul "Harga-Harga di Kota-Kota". Ia membagi jenis barang menjadi barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Nah, menurut dia, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya akan bertambah banyak, maka harga- harga barang kebutuhan pokok akan mendapat prioritas pengadaannya. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga. Sedangkan untuk baarang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya harga barang mewah meningkat.

Ibn Khaldun juga menjelaskan mekanisme penawaran dan permintaan dalam menentukan harga keseimbangan. Secara lebih rinci ia menjabarkan pengaruh persaingan di antara konsumen untuk mendapatkan barang pada sisi permintaan. Setelah itu ia menjelaskan pula pengaruh meningkatnya biaya produksi karena pajak dan pungutan-pungutan lain di kota tersebut, pada sisi penawaran (The Muqaddimah of Ibn Khaldun, II:276-8).
Pada bagian lain dari bukunya, Ibn Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ia mengatakan, "Ketika baarang-barang yang tersedia sedikit, maka harga-harga akan naik. Namun bila jarak antarkota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, maka akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun" (ibid., 338). Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun, sebagaimana Ibn Taimiyah, telah mengidentifikasi kekuatan permintaan dan penawaran sebagai penentu keseimbangan harga.

Masih ingat dua tulisan sebelumnya bahwa Al-Ghazali menyatakan motif berdagang adalah mencari untung? (Ihya, II:73). Ghazali juga menyatakan hendaknya motivasi keuntungan itu hanya untuk barang-barang yang bukan kebutuhan pokok. Keuntungan pun didefinisikan Ghazali sebagai keuntungan di dunia dan di akhirat.

Nah, Ibn Khaldun menjelaskan secara lebih rinci. Menurut dia, keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen (ibid., 340-341). Bila dibandingkan dengan Ibn Taimiyah yang tidak menggunakan istilah persaingan, Ibn Khaldun menjelaskan secara eksplisit elemen-elemen persaingan. Bahkan ia juga menjelaskan secara eklplisit jenis-jenis biaya yang membentuk kurva penawaran, sedangkan Ibn Taimiyah secara implisit. Ibn Khaldun juga mengamati fenomena tinggi-rendah, tanpa mengajukan konsep apapun tentang kebijakan kontrol harga. Di sinilah bedanya, tampaknya Ibn Khaldun lebih fokus menjelaskan fenomena yang terjadi, sedangkan Ibn Taimiyah lebih fokus pada kebijakan untuk menyikapi fenomena yang terjadi.

Lihat saja misalnya, Ibn Taimiyah tidak menjelaskan secara rinci pengaruh turun-naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga keseimbangan. Namun ia menjelaskan secara rinci bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar berjalan normal. Hanya bila mekanisme normal tidak berjalan, pemerintah disarankan melakukan kontrol harga (Economic Concept of Ibn Taimiyah, 97-101).

Sukuk

Sejarah Sukuk

Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya (Ayub, 2005). Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan kontemporer (Adam, 2005).

Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global corporate Sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.

Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004, pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.

Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah kontemporer.

Short Selling & JII

Short Selling dan Jakarta Islamic Index

Dodik Siswantoro
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

14 abad lalu Hakim ibnu Hizam pernah menanyakan ke nabi Muhammad SAW tentang hukum menjual barang yang belum dimiliki. Jawaban yang diberikan adalah tidak boleh menjual barang yang belum dimiliki. Hal ini didasarkan karena bertentangan dengan syariah Islam itu sendiri yang melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakjelasan) dan tidak memenuhi aqad (kontrak sesuai syariah Islam). Di dalam aqad jual beli, barang yang dijual harus dimiliki. Peristiwa tersebut diatas dicatat dalam kitab alijarah oleh Abu Dawud. Sehingga jika ada jual beli dengan barang yang belum dimiliki oleh penjual dapat menjadi tidak syah karena tidak terpenuhinya aqad.

Secara tujuan moral, dilarangnya menjual barang yang belum dimiliki lebih ke arah agar didapat penerapan sistem perdagangan yang sehat. Di samping agar tidak terjadi market failure yang dapat menganggu stabilitas harga di pasar. Hal ini ditujukan juga untuk mereduksi transaksi yang tidak jelas yang dapat merugikan penjual karena kepastian harga akan turun masih belum jelas. Di dalam syariah Islam sendiri, penjualan barang yang belum dimiliki terdapat unsur yang melanggar dari tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Di dalam maqasid syari’ah ada yang namanya al muhafazhah ala a maal, yaitu tujuan syari’ah diterapkan untuk melindungi harta yang dimiliki. Dalam konteks penjualan barang yang belum dimiliki, hal ini mempunyai arti yang berlawanan dengan semangat tujuan maqasid syari’ah itu sendiri agar harta yang dimiliki diharapkan agar bertambah atau paling tidak tetap. Sehingga secara kaidah hukum Islam (qawaid al fiqhiyah) tidak sesuai karena melanggar kaidah, yaitu mengubah prinsip dasar dalam mencari keuntungan dengan harga ekspektasi yang akan turun, bukan mengharapkan harga yang akan naik.

Transaksi penjualan yang belum dimiliki indentik dengan nama short selling yang sering terjadi di pasar saham. Dengan kata lain pemain saham tidak saja dapat untung pada saat harga naik tapi dengan short selling pemain saham dapat juga untung walaupun harga turun. Hal ini disebabkan harga saham yang dijual pada saat harga tinggi kemudian jika harga turun segera dibeli untuk dimiliki. Namun demikian, apabila harga malah naik pemain short selling mau tidak mau harus membeli saham dengan harga yang bisa relatif tinggi. Apabila perkiraan harga saham yang akan turun malah meleset dari perkiraan. Di samping itu, short selling juga dapat dikatakan menggairahkan perdagangan saham sehingga pasar dapat dikatakan aktif.

Akhir-akhir ini dibuat usulan agar short selling malah bisa dibuat lebih lama lagi hingga 30 hari. Hal ini disebabkan agar pemain saham bisa leluasa lagi dalam melakukan short selling dan mempunyai ekspektasi pilihan terhadap harga saham menjadi banyak. Secara umum, short selling dapat dikatakan menjadi sweetener dalam permainan saham. Di samping pemain saham dapat saja untung dalam keadaaan pasar yang bearish. Adapun saham-saham yang dianggap memenuhi syarat adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bakrie & Brothers, Bank Niaga, Bank International Indonesia, Bumi Resources, Indofood Sukses Makmur, Indah Kiat Pulp & Paper, Multipolar dan Telkom (Bisnis Indonesia, 14 Februari 2006). Yang menjadi catatan penting adalah ada beberapa saham tersebut yang tercatat dalam Jakarta Islamic Index (JII) misalnya Bakrie & Brothers, Bumi Resources, Indofood Sukses Makmur, Indah Kiat Pulp & Paper dan Telkom. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua apabila ada saham yang masuk dalam JII dan “legal untuk short selling”.

Posisi Islamic Investor

Sekilas usulan akan dilegalkannya short selling atau malah ditetapkannya saham yang memenuhi syarat untuk di-short selling mempunyai dampak yang positif bagi likuiditas pergerakan saham di bursa. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
Pertama, Islamic investor secara tidak langsung akan tidak diuntungkan karena Islamic investor seperti bank syariah, Islamic fund manager dan lain-lain akan sedikit besarnya terpengaruh oleh aksi short selling. Misalnya para Islamic investor membeli saham dengan harapan harganya akan naik, namun di lain pihak dengan akan dilegalkan short selling hingga 30 hari. Islamic investor yang membeli saham-saham yang tercatat dalam Jakarta Islamic Index (JII) yang pada saat yang bersamaan tercatat dalam saham yang legal di-short selling akan terpengaruh oleh ulah spekulan para short seller yang dapat melakukan offer secara besar-besaran. Dengan demikian Islamic investor harus segera menjual saham yang dimilikinya agar nilainya tidak turun atau tetap bertahan dengan harapan harganya akan kembali naik. Sehingga secara umum, Islamic investor yang memegang saham dalam 2 daftar, yaitu JII dan yang legal untuk di-short selling akan sulit untuk melakukan long term investment karena aksi short seller dapat saja terjadi dalam waktu yang dekat.
Kedua, dengan dicantumkannya saham-saham dapat tercantum dalam 2 daftar, yaitu memenuhi syarat di-short selling dan Jakarta Islamic Index (JII) menjadikan pasar saham yang ambigu bagi Islamic investor. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang terlihat bertentangan dalam praktek di pasar. Walaupun, selama ini saham-saham yang masuk dalam Jakarta Islamic Index (JII) baru sebatas pemenuhan kriteria secara kinerja dan perusahaan. Sedangkan secara praktek dan aktivitas di pasar belum ada standar kesesuaian dengan syariah Islam. Pelegalan saham short selling yang masuk dalam JII malah akan membuat pasar yang membingungkan bagi Islamic investor.

Secara ideal, pasar saham syariah memang harus dibuat secara terpisah dengan yang konvensional. Di tambah perlu adanya batasan-batasan sistem yang menolak perdagangan atau transaksi yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Namun demikian, untuk jangka waktu dekat diperlukan pembatasan yang jelas antara saham-saham yang masuk dalam daftar Jakarta Islamic Index (JII) agar juga tidak masuk dalam daftar saham yang dilegalkan untuk di-short selling. Hal ini dimaksudkan agar Islamic investor dapat melakukan trading secara normal tanpa terganggu oleh aksi yang tidak sesuai syari’ah Islam yang dapat mengganggu perdagangan saham secara Islami.

SWBI

ANALISIS OPERASIONAL INSTRUMEN PASAR UANG ANTAR BANK SYARIAH DAN SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA

Oleh : Hendro Wibowo[1]

Pendahuluan

Amandemen Undang-undang perbankan dari UU No 7 Tahun 1992 berubah menjadi Undang-undang No 10 Tahun 1998 dimana operasional perbankan boleh menjalankan dua sifat operasional yaitu perbankan prinsip syariah dan perbankan prinsip konvensional. Dikarenakan bahwa pengaturan perbankan syariah berada dalam pengawasan Bank Indonesia sebagai bank sentral (otoritas moneter), maka kinerja perbankan syariah juga tidak terkecuali termasuk sesuatu yang perlu diawasi oleh Bank Indonesia. Perkembangan perbankan syariah tidak dapat dilepaskan dari memadainya infrastruktur, seperti pasar keuangan syariah, institusi keuangan syariah lainnya dan peraturan perbankan syariah[2] sebagaimana diatur oleh otoritas moneter yakni Bank Indonesia dibawah direktorat terkait yaitu Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) Bank Indonesia. Jika dihubungkan dengan instrument perbankan, dimana fungsi Sertifikasi Bank Indonesia (SBI) sebagai instrument pengendali moneter melalui pengawasan terhadap kinerja bank umum, maka bank syariah juga termasuk ke dalam kategori bank yang dapat melakukan transaksi dengan Bank Sentral dalam hal ini adalah SBI. Hanya saja dikarenakan bahwa perbankan syariah umumnya berusaha untuk menghindari semaksimal mungkin berbagai unsur Maghrib (Maysir, Gharar, Ribawi) dimana SBI yang notabebe menggunakan system bunga yang berdasarkan atas diskonto, maka muncullah apa yang dinamakan dengan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia berfungsi untuk menyerap kelebihan likuiditas (memenuhi kewajiban jangka pendek) didalam perbankan syariah.[3]

Disamping SWBI bank syariah juga memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk menyimpan dana dan memperoleh pembiayaan serta jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah. Dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dana perlu diselenggarakan pasar uang berdasarkan prinsip syariah serta piranti yang dapat digunakan untuk menanamkan dana baik bagi Bank Konvensional maupun Bank Syariah, dan untuk memperoleh dana bagi Bank Syariah. Dana yang masuk dari masyarakat dinamakan Dana Pihak Ketiga (DPK) kemudian dana tersebut dimanage oleh bank syariah. Salah satunya adalah bank syariah melakukan investasi antar bank. Biasanya investasi antar bank dinamakan Pasar Uang Antar Bank, dimana pada operasional bank syariah disebut Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Pada dasarnya PUAS dimaksudkan sebagai sarana investasi antar Bank Syariah sehingga Bank Syariah tidak dapat melakukan penanaman dana pada Bank Konvensional untuk menghindari pemanfaatan dana yang akan menghasilkan suku bunga dan adanya unsur maysir serta gharar, namun tidak tertutup kemungkinan bagi Bank Konvensional untuk melakukan investasi pada Bank Syariah. Sehingga sarana yang dapat dimanfaatkan yaitu Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Namun, dilihat dari kedua instrument tersebut terkesan menjadi suatu alternative dari adanya operasional perbankan yang menggunakan prinsip syariah.

Pasar Uang Antar Bank Syariah dan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)

Pasar Uang Antar Bank digunakan sebagai sarana investasi dan transaksi, karena dalam manajemen perbankan. Nasabah menyimpan dan menarik dana tidak dapat diduga tetapi dapat diprediksi sesuai dengan jangka waktu penyimpanan. Disinilah manajemen harus secara simultan mempertimbangkan berbagai risiko yang akan berpengaruh pada perubahan dana tersebut.[4] Maka Fasilitas Pasar Uang Antar Bank merupakan sarana untuk mengatasi hal tersebut, berkaitan dengan operasional perbankan syariah maka dikenal dengan sebutan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) adalah kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar berdasarkan prinsip Mudharabah, dimana transaksi tersebut menggunakan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank, yang untuk selanjutnya disebut Sertifikat IMA, adalah sertifikat yang digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dana dengan prinsip Mudharabah.
Ada beberapa keuntungan dalam transaksi ini antara lain :

  1. Pendapatan yang baik
  2. Risiko yang rendah
  3. Mudah dicairkan
  4. Sederhana
  5. Fleksibel

Mekanisme Operasi Pasar Uang Antar Bank Syariah

Pembayaran Sertifikat IMA oleh bank penanam dana dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring atau bilyet giro Bank Indonesia dengan melampiri lembar kedua Sertifikat IMA, atau transfer dana secara elektronis. Dalam hal pembayaran Sertifikat IMA dilakukan dengan menggunakan transfer dana secara elektronis, bank penanam dana wajib menyampaikan lembar kedua Sertifikat IMA kepada Bank Indonesia.

Pada saat Sertifikat IMA jatuh waktu, bank penerbit membayar kepada bank\ pemegang Sertifikat IMA sebesar nilai nominal investasi.

Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah bank penerbit sesuai dengan jangka waktu penanaman.

Besarnya imbalan Sertifikat IMA dihitung berdasarkan jumlah nominal investasi, tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah sesuai dengan jangka waktu penanaman dana dan nisbah bagi hasil yang disepakati.

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)

Sertifikat Wadiah Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SWBI merupakan bukti penitipan dana wadiah. adalah penitipan dana berjangka pendek dengan menggunakan prinsip wadiah yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi Bank Syariah atau UUS.

Penitipan Dana Wadiah dapat berjangka waktu 7 (tujuh) hari, 14 (empat belas) hari, dan 28 (dua puluh delapan) hari. (Pasal 4 ayat 1).

Sedangkan karakteristik SWBI sebagaimana diterangkan dalam pasal 6 Peraturan BI Tahun 2004 tersebut adalah, Pertama, SWBI diterbitkan dan ditatausahakan tanpa warkat (scripless) dan kedua, SWBI tidak dapat diperjualbelikan (non negotiable). Benefit yang diberikan dari SWBI bukan bunga didasarkan atas system diskonto, akan tetapi apa yang dinamakan dengan bonus. Sebagaimana diterangkan dalam Peraturan BI Tahun 2004 tersebut, dalam pasal 9 disebutkan, Bank Indonesia dapat memberikan bonus atas Penitipan Dana Wadiah sebagai dimaksud Pasal 2 ayat 1.

Fungsi SWBI dikatakan sebagai SBI bagi perbankan syariah, secara tidak langsung menyebabkan apabila naik turunnya tingkat suku bunga SBI berdampak juga terhadap perkembangan perbankan syariah.

Analisa

Analisis diatas dikemukakan karena adanya indikasi bahwa tingkat suku bungan SBI sebagai Benchmark dalam penetapan tingkat bonus SBI, sehingga wajar apabila SWBI akan berpengaruh terhadap perkembangan perbankan syariah. Kemudian dilihat dari posisi SWBI pada akhir tahun ini mengalami peningkatan walaupun dapat dilihat indikasi bahwa penembapatan dana di SWBI hanya bersifat sementara (temporary) sebelum perbankan syariah dapat menempatkan dananya di sector riil secara prudent (kehati-hatian).

Funding Milyar Rp

2003

2002

Selisih

DP-III

5,724

2,917

2,807

OBLIGASI

140

-

140

SUB-DEBT

418

202

216

MODAL BUS

626

524

102

MODAL UUS

411

222

189

9,322

5,867

3,455

Grafik 1

Lending

FINANCING

5,530

3,276

2,254

SWBI

1,623

541

1,082

7,153

3,817

3,336

Selisih masuk RR+Kas+HTI

199

Grafik 2

Jika kondisi keuangan perbankan syariah ini dikaji lebih detail (lihat table diatas), sumber dana yang ditempatkan di SWBI lebih banyak berasal dari obligasi syariah skim Mudharabah (dalam bentuk biasa dan sub-debt) dan tambahan modal disetor. Secara rasional juga atas pertimbangan mendorong tingkat kompetitif yang berkorelasi dengan tingkat reputasinya, pembelian SWBI akan memprioritaskan dana yang berbiaya murah dengan asumsi bahwa return yang diberikannya rendah dibandingkan dengan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Dalam hal ini bank syariah tentu akan memprioritaskan penggunaan modal terlebih dahulu, kemudian sub-loan, obligasi dan terakhir adalah dana pihak ketiga (DPK) untuk SWBI. Sebaliknya, bank syariah tentu akan memprioritaskan penggunaan dana pihak ketiga untuk financing ke sector riil dengan asumsi bahwa return dari sector riil lebih besar dibandingkan dari pada ke SWBI. Dengan begitu diharapkan return yang diberikan pada pihak ketiga (yang relative lebih tinggi) akan mendorong tingkat kompetitif dan reputasi bank. Atas dasar asumsi tersebut, dapat disimpulkan peningkatan penempatan dana dalam SWBI yang terjadi pada akhir tahun tidak didominasi dari DPK bank syariah.

(Giro Wajib Minimum Perbankan Syariah, BI Kajian Perbankan Syariah ; 2004)

Posisi Sertifikat Wadiah Bank Indonesia



Grafik 1 diatas, menggambarkan adanya kecenderungan peningkatan cukup drastis posisi SWBI pada akhir desember 2005 dan 2006, hal ini menandakan bahwa setiap akhir tahun periode dimana komposisi dana SWBI cenderung meningkat dari tahun ke tahun (yoy) terlihat tahun 2005 desember sebesar 11.47% dan akhir tahun 2006 desember sebesar 9.25%, namun awal bulan dan pertengahan menjadi puncak turunnya nilai SWBI sehingga membentuk parabola, menurut penulis hal ini dikarenakan idle cash (dana yang menganggur) diperbankan syariah pada akhir tahun dimanfaatkan dan kemudian ditaruh di SWBI dengan menginginkan dan mengharapkan bonus yang tinggi. Penulis berpendapat bahwa hal ini adanya target yang direncanakan pada bank syariah yang tinggi sehingga pada akhir tahun tidak mencapai sesuai dengan target yang diinginkan, kemudian dengan ditaruh di SWBI target yang diinginkan dapat tercapai. Oleh sebab itu dana tersebut di taruh di SWBI dalam jangka waktu yang pendek dan asumsi pada akhir tahun dana tersebut menghasilkan bonus untuk memenuhi target laba yang diinginkan. Dapat disimpulkan bahwa instrumen SWBI belum dapat optimal dalam operasionalnya.

Volume Transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah

Dari grafik PUAS Tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA yang berjangka waktu: sampai dengan 30 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; di atas 30 hari sampai dengan 90 hari mengacu pada tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Yang dimaksud dengan tingkat realisasi imbalan Sertifikat IMA adalah tingkat imbalan deposito investasi Mudharabah (sebelum didistribusikan) dikali nisbah bagi hasil untuk bank penanam dana. Pada bulan september transaksi PUAS meningkat, hal ini menjadi faktor bahwasanya dampak dari perekonomian yang cenderung membaik akan berakibat pada bagi hasil yang ikut meningkat.

Kesimpulan

SWBI dan PUAS sebagai instrument pengganti SBI dan pengganti Pasar Uang Antar Bank tentunya berhadapan dengan berbagai tantangan. Sebagai instrument yang dikeluarkan karena adanya dorongan untuk menghindarkan semaksimal mungkin dari berbagai unsur Maghrib (Maysir, Gharar, dan Riba), dimana kehadiran SWBI dan PUAS tentunya perlu disambut dengan baik. Namun, adanya pengaruh yang signifikan daru tingkat suku bunga SBI terhadap SBI terhadap bonus SWBI begitu juga bagi hasil yang dibagikan pada transaksi PUAS, hal tersebut menunjukkan bahwa secara positif tingkat bonus SWBI tidak benar-benar dapat menghindarkan diri dari tingkat suku bunga Bank Indonesia, disisi lain instrument tersebut belum secara optimal berperan dikarenakan idle cash (dana yang menganggur) diperbankan syariah pada akhir tahun dimanfaatkan dan kemudian ditaruh di SWBI dengan menginginkan dan mengharapkan bonus yang tinggi, yang seharusnya dapat disalurkan kepada sektor riil tetapi karena mempertimbangkan risiko yang terjadi maka perbankan menaruh di SWBI.

Fenomena lain bahwa produk ekonomi dan keuangan syariah tidak benar-benar dapat terlepas dari sistem ekonomi dan keuangan konvensional (yang cenderung menggunakan konsep ribawi) merupakan suatu hal yang tidak dapat dijalankan secara murni hanya dengan jalan atau system suatu Negara sudah berdasarkan prinsip syariah secara kaaffah, tetapi hal ini merupakan the first step (langkah awal) untuk menuju pada system ekonomi yang murni syariah.


[1] Alumni Jurusan Manajemen Perbankan Syariah STEI SEBI Jakarta.

[2] Hamidi, M. Luthfi, Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2003.

[3] Syamsudin, “Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Terhadap Tingkat Bonus SWBI”.Jurnal Ekonomi Syariah, Vol 2 ISEG Review. Bandung, 2005.

[4] Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet, Cet 3, Februari 2005.

UU Bank Syariah

Selamat Datang UU Perbankan Syariah

Oleh : Rama Pratama
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI FPKS

Penantian panjang itu berakhir sudah. Setelah enam tahun, DPR bersama pemerintah akhirnya sepakat mengesahkan RUU Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah. Ini berarti, kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didamba.

Payung hukum ini diharapkan makin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Panjang memang penantian komunitas perbankan syariah. Begitu panjangnya, kalangan praktisi perbankan syariah sempat tidak terlalu memikirkan Undang-Undang itu. Memang, tanpa undang-undang pun, selama ini, perbankan syariah tetap eksis.

Kini komunitas perbankan syariah sebaiknya melupakan proses yang berlarut-larut. Masa lalu sebaiknya dijadikan pelajaran berharga untuk menyongsong hari esok. Karena banyak pihak berharap peran dan kontribusi perbankan syariah dalam menggerakkan perekonomian nasional.
Dalam kondisi perekonomian yang serba sulit seperti saat ini, perbankan syariah benar-benar dituntut kontribusinya secara nyata. Apalagi jumlah penduduk miskin yang disampaikan Presiden RI Soesilo Bambang Yudoyono masih tinggi, yaitu 16,58 persen atau sekitar 37,17
juta dari total penduduk Indonesia.

Apa hubungannya penduduk miskin dengan kehadiran UU Perbankan Syariah?
Inilah kelebihan bank syariah dibandingkan bank konvensional. Perbankan syariah memiliki karakteristik unik yaitu berperan dalam mendukung sektor sosial disamping fungsi utamanya sebagai lembaga komersial. Karenanya wajar jika banyak pihak menunggu kontribusi
perbankan syariah dalam ikut mengentaskan penduduk miskinn.

Pengelolaan dana sosial perbankan syariah, yang diperoleh dari zakat, infak, dan sedekah, serta dana sosial yang berasal dari penerimaan operasi (qardh) tahun lalu naik 46 persen dari Rp 27,5 miliar (2006) menjadi Rp 40,1 miliar (2007). Dana ini disalurkan dalam bentuk zakat, pinjaman usaha, dan sumbangan qardh. Qardh dalam istilah sekarang disebut dengan corporate social responsibility (CSR).

Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja melalui program sosial. Sedang dari sisi komersial, hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.

Tantangannya sekarang, sejauhmana pelaku perbankan syariah bisa mengakselerasi aktivitasnya dalam membangun perekonomian nasional setelah memiliki payung hukum. Jika beberapa waktu lalu beralasan belum memiliki payung hukum sehingga tidak bisa bergerak leluasa atau ragu bergerak. Kini, setelah disahkannya UU itu diharapkan keraguan itu tidak ada lagi sehingga bisa secara komersial maupun social bisa bergerak dengan leluasa sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

'Kekuatan sementara' yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, sebagaimana dilaporkan Bank Indonesia adalah tiga Bank Umum Syariah (BUS), 26 UUS (Unit Usaha Syariah) dan 114 BPRS. Sementara kekuatan jaringan kantor bank syariah mencapai 711 kantor dan 1.195 layanan syariah. Dengan kekuatan ini perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah. Sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp 36,5 triliun atau hanya sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional.

Dibanding dengan perbankan konvensional yang memiliki hingga 80 juta rekening tentunya masih sangat jauh. Namun prestasi tersebut sebenarnya sudah lumayan luar biasa karena perbankan syariah beroperasi dengan segala keterbatasan yang ada, termasuk keterbatasan
belum memiliki payung hukum tadi.

Payung hukum memang penting untuk kepastian hukum. Sebelumnya, banyak investor asing, terutama Timur Tengah, yang bersedia membenamkan modal untuk membangun bank syariah setelah prestasi tersebut. Namun mereka mundur untuk sementara waktu sambil menunggu payung hukum yang jelas. Padahal investor yang berminat punya kelas yang tidak kecil. Bank
Pembangunan Islam misalnya, menyediakan dana sebesar 10 miliar dolar AS untuk program yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan. Belum lagi investasi langsung yang akan masuk ke sektor riil, infrastruktur, telekomunikasi, dan sebagainya.

Kehadiran UU Perbankan Syariah dan sebelumnya juga disahkan UU Surat Berharga Syariah (SBSN) pada 10 April 2008 diharapkan akan kembali merangsang investor untuk masuk ke pasar bank syariah di Indonesia. Sebab tiada lagi penghalang bagi kehadiran investor asing, terutama investor dari negara-negara Teluk yang berminat menanamkan modalnya di
Indonesia.

Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi 'transit' ke Malaysia atau bahkan Singapura sebelum ke Indonesia. Kini, mereka bisa langsung datang ke Indonesia untuk berinvestasi, termasuk dalam mengembangkan perbankan syariah. Malaysia juga Singapura merupakan dua negara yang paling berani dalam memajukan perbankan syariah. Bahkan, Singapura bertekad menjadikannya negaranya sebagai hub keuangan syariah dunia. Bermodal UU Perbankan Syariah dan UU SBSN, posisi Indonesia diharapkan akan lebih kuat dalam upaya mengembangkan keuangan syariah, dibanding negara-negara lain.

Ikhtisar
* Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah da lam mengentaskan kemiskinan, kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja.
* Hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.