Jumat, 02 Januari 2009

Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi

Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi Pertukaran
Oleh : Hendro Wibowo

I. Pendahuluan
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi).
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
عليكم بالتجارة فان فيها تسعة اعشار الرزق( رواه احمد)
“Hendaklah kamu kuasai berbisnis Karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)

Sejak zaman Rasulullah SAW telah melarang semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty), berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani Umayyah dan Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan memformalisasikan praktik bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
I. 1. Urgensi Kajian
Dasar hukum mumalah Islam menuntut semua sistem kegiatan bisnis harus berjalan secara jelas, terukur, terbuka dan adil sebisa mungkin, dalam ungkapan lain ketidakpastian harus diminimalisir sebisa mungkin dalam sistem transaksi keuangan terutama sistem keuangan modern sekarang.
Dalam paper ini dimana tulisan ini lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik. Meliputi beberapa pembahasan antara lain Bagian 2 menjelaskan tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar” seperti game, zero sum-game, dan sebagainya. Bagian 3, penulis mencoba melakukan komparasi antara konsep gharar dan zero sum-game yang dikenal dalam keuangan konvensional. Bagian 4 menampilkan metode pengukuran eksistensi gharar berdasarkan panduan syariah. Bagian 5 memberikan identifikasi terhadap beberapa transaksi yang ”dicurigai” mengandung gharar. Bagian 6 memaparkan tentang aplikasi konsep zero sum-game dalam transaksi keuangan modern. Bagian 7 tentang signifikansi dari konsep zero sum-game dan bagian akhir ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Pelarangan gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.


2. Pengertian Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya.[4] Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya.[5]
Sehingga, dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian secara istilah, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian.[6] Seperti dalam paper menurut Zaki Badawi (1998, p. 16) mengenai harga dari gharar suatu hal tidak pasti.

2.1. Dalil tentang pelarangan gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar
Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[7]
عن جابر أن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة والمزابنة والثنيا إلا أن تعلم. (رواه الترميذى)
“Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).

لا تبع ما ليس عندك (رواه الخمسة عن حكيم بن حزام)
“Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R.Khamsah dari Hakim bin Hizam).

Dalam satu hadist Rasulullah SAW :

عن أبي هريرة قال : نهى رسول الله عن بيع الحصاة وعن بيع الغرار (رواه مسلم)
“Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar” (HR Muslim).

عن البن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلعم نهى عن بيع حبل الحبلة (رواه البخاري و مسلم)

“Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah saw telah melarang penjualan sesuatu (anak onta) yang masih dalam kandungan induknya”. (H.R.Bukhari Muslim)

2.2. Hukum-hukum Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:[8]
Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya
Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga mengharamkannya.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan: “Dalam permasalahan ini, madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya”

2.3. Klasifikasi gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh ( ).
b. Zero Sum Game
seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi)[9] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.

c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi).[10] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.[11]
Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.[12] Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper Al Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:[13]
a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.
b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.
Dalam Islam Risiko dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut.[14] Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.[15]
Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang).[16] Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :

Tergantung pada hasil
Tidak tergantung pada hasil
Dengan adanya upaya (game of skill)
Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90
Diperbolehkan/ Lawfull
Tanpa adanya upaya (game of chance)
Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90
Diperbolehkan/ Lawfull
[1] Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal, Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
[2] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[3] Majmu Fatawa, 29/22
[4] Al-‘Assal, Ahmad Muhammad & Abdul Karim, Fathi Ahmad. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Terjemahan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
[5] Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi; penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, 23:786.
[6] idem
[7] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, hal 459
[8] ibid Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad hal 289.
[9] Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
[10] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
[11] al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
[12] Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
[13]Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.
[14] Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.
[15] M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250
[16] Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.

2 komentar:

hdyBlogg mengatakan...

punya ar tikel tentang jual beli tsunayya gak mas??

Selalu Mencari mengatakan...

apakah blog ini masih aktif ? apa bisa bertanya mengenai hukum menjadi perantara/mediator cash collateral ?
terima kasih
agus.wiyan@gmail.com