2.1
Asuransi Syariah2.1.1. Definisi Asuransi Syari'ah
Menurut Dahlan Siamat (1999: 367), Istilah asuransi dalam perkembangan di Indonesia berasal dari kata Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi penanggung. Kemudian dalam bahasa Inggris istilah "pertanggungan" adalah insurance dan assurance. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, insurance artinya "menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi". Sedangkan assurance berarti "menanggung sesuatu yang pasti terjadi".
Pengertian asuransi menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246:
"Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi karena suatu peristiwa tak tertentu".
Definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-undang Republika Indonesia Nomor 2 tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Bab 1 Pasal 1: "Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan" (Hasan Ali, 2004: 61).
Dalam bahasa Arab Asuransi disebut at-ta'min, penanggung disebut mu'ammin, sedangkan tertanggung disebut mu'amman lahu atau musta'min. Atta'min ( التأ مين ) diambil dari kata ( أمن ) memiliki arti memberi perlindungan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut (Syakir sula, 2004: 28).
Menurut Amin Suma (2006: 40), Asuransi dinamakan at-ta'min disebabkan pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman begitu ia mengikatkan dirinya sebagai anggota / nasabah sebuah asuransi. Dengan menjadi anggota asuransi, paling tidak secara teoritis yang bersangkutan merasa terhindar atau paling sedikit terkurangi rasa cemas akan menanggung beban berat manakala terjadi sesuatu terhadap diri dan atau harta-bendanya.
Sejalan dengan berbagai sebutan dan substansi dari asuransi diatas, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (2001:131), dalam fatwanya No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi definisi tentang asuransi. Asuransi syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk asset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
2.1.2 Dasar Hukum Asuransi Syariah
Menurut Gemala Dewi (2006: 141), Hukum muamalah adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur'an hanya memberikan aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur'an maupun Hadits tidak menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti bahwa asuransi hukumnya adalah haram karena teryata dalam hukum Islam memuat substansi perasuransian secara Islami.
Menurut Sofyan Syafri Harahap (1997: 100), Hakikat asuransi secara islami adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama atau Bantu-membantu dan saling melindungi satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi diperbolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah al-Hasyr ayat 18, al-Maidah ayat 2 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
Landasan dalam Al-Qur'an :
• • •
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al- Hasyr : 18)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"….. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….." (QS. Al- Maidah : 2)
Dari kutipan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa, Asuransi dalam Islam dikenal dengan istilah Takaful yang berarti saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana / sumbangan / derma (tabarru') yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. (Sofiniyah Ghufron, 2005:18)
Landasan dalam Al Hadits :
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم)
"Dari Nu'man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda, 'Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka adalah seumpama satu tubuh. Bilamana salah satu bagian tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam." (HR. Muslim).
Hadits ini menggambarkan tentang adanya saling tolong menolong dalam masyarakat Islami. Dimana digambarkan keadaannya seperti satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Dan terkadang bantuan yang diterima, jumlahnya melebihi 'biaya' yang dikeluarkan untuk pengobatan. Sehingga terjadilah 'surplus', yang minimal dapat mengurangi 'beban' penderitaan orang yang terkena musibah. Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah.
Menurut Hendi Suhendi (2002:312), Dikalangan ulama atau cendikiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini; termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i alasannya antara lain:
a. Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi.
b. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti.
c. Mengandung eksploitasi, karena pemegang polis apabila tidak bias melanjutkan pembayaran premi, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
2. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Yusuf Musa alasannya yang dikemukakannya sebagai berikut:
a. Tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadits yang melarang asuransi.
b. Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
c. Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah.
4. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar