Minggu, 15 Juni 2008

Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK

Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK

Oleh Ir. H. Saat Suharto
15 Februari 2008

Sumber : www.niriah.com

Micro finance atau keuangan mikro telah dipercaya menjadi salah satu alat yang paling efektif dalam mengatasi kemiskinan. Hal tersebut diakui pemerintah dengan menetapkan, sejak tahun 2005 sebagai tahun keuangan mikro. Tidak lama setelah PBB menetapkan hal serupa, bahwa pada 2005 sebagai the Micro Finance Year.

Adalah Kofi Annan sebagai Sekjen PBB kala itu, bertindak sebagai deklarator tahun keuangan mikro bagi seluruh negara-negara dunia pada 18 November 2004. Penetapan sebagai tahun keuangan mikro di latarbelakangi oleh keprihatinan atas besarnya angka kemiskinan di seluruh dunia. Saat ini, ada lebih dari 1,2 miliar jiwa termasuk dalam golongan miskin. Skema keuangan mikro diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dan secara simultan mampu menciptakan masyarakat yang memiliki tanggung jawab, produktifitas tinggi, kemandirian, dan martabat.

Kehadiran sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK), merupakan fakta adanya semangat kewirausahaan sejati di tengah masyarakat kita. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat, melalui UMK, merupakan hal yang sangat strategis dan masuk akal guna mewujudkan pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Beberapa alasan yang menjadi nilai strategis dalam pengembangan sektor UMK antara lain:
1) sektor ini telah dengan sendirinya mempunyai kegiatan ekonomi produktif, maka kebutuhan utamanya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan penumbuhan, sehingga seharusnya bisa jauh lebih mudah dan pasti;
2) apabila sektor ini diberdayakan secara tepat, mereka akan secara mudah berkembang menjadi sektor usaha yang lebih besar;
3) sektor ini secara efektif akan mengurangi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri, maupun membantu penanganan rakyat miskin kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.

Tabel di bawah ini memperlihatkan peran strategis dari sektor UMK (oleh World Bank (tabel 1) disebut economically active poor) dalam mengurangi kemiskinan.

Gambar 1
Peran Strategis pengusaha mikro menurut World Bank dalam mengentaskan kemiskinan (Tabel 1)

Dengan kata lain, keuangan mikro yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro dapat menstimulus masyarakat miskin namun aktif secara ekonomi, Economicaly Active Poor, Pengusaha Mikro, atau dalam bahasa kami, kami sebut sebagai Dhuafa Produktif untuk dikembangkan dan ditingkatkan kapasitas usahanya, dengan begitu akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan investasi-investasi mikro baru.

Fase-fase perkembangan pengusaha mikro
Kami membagi fase perkembangan pengusaha mikro menjadi tiga fase. Dan, dalam melewati fase-fase inilah keberadaan lembaga keuangan mikro menjadi sangat urgen. Pada fase pertama ini pengusaha mikro masih sebatas diajak untuk menabung. Karena pola usaha yang dilakukan masih subsisten. Artinya, hasil usaha yang dilakukan masih lebih banyak digunakan untuk kebutuhan si pengusaha sehari-hari.

Pengusaha mikro dianggap sulit untuk menabung bukan karena tidak mau, melainkan memang tidak ada yang bisa untuk ditabung, demikian kebanyakan orang akan berpikir. Namun bagi kami hal tersebut sama sekali tidak masuk akal. Menabung tidak harus dalam jumlah besar, bisa saja menabung diambil dari keuntungan harian mereka. Pengusaha pada fase ini juga dalam beberapa momentum mendapatkan keuntungan yang relatif besar dari hari-hari biasa, pada saat inilah kalau budaya menabung belum terbangun keuntungan besar itu akan larut sebagai konsumsi.

Kriteria UMK

Sektor usaha di Indonesia terdiri atas sektor usaha mikro, kecil, menengah dan besar. Dari keempat kriteria sektor usaha, sektor usaha mikro dan kecilah yang menurut kami (terutama sektor usaha mikro dan kecil) seharusnya mampu menyerap dan mendayagunakan keuangan mikro.

Sektor usaha mikro melalui Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003, adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) per tahun. Usaha mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Usaha mikro umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat
3. Belum melakukan manajemen/catatan keuangan yang sederhana sekalipun, belum atau masih sangat sedikit yang dapat membuat neraca usahanya;
4. Sumberdaya manusianya (pengusahanya) berpendidikan rata-rata sangat rendah, umumnya sampai tingkat SD dan belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
5. Pada umumnya tidak/belum mengenal perbankan, tapi lebih mengenal rentenir atau tengkulak;
6. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.

Dilihat dari kepentingan perbankan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar yang cukup potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi nya karena usaha mikro mempunyai karakteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki oleh usaha non mikro, antara lain:
1. Perputaran usaha (turn over) umumnya tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus berkembang.
2. Pada umumnya para pelaku usaha: tekun, polos, jujur dan dapat menerima bimbingan asal dilakukan dengan pendekatan yang tepat.

Sektor usaha kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 9 Tahun 1995 adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Usaha kecil umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah;
2. Lokasi/ tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah;
3. Pada umumnya sudah melakukan pembukuan/ manajemen keuangan walau masih sederhana;
4. Sumber manusia (pengusaha) sudah mulai/lebih maju rata-rata berpendidikan SMU namun perlu ditingkatkan pengetahuan usaha dan sudah ada pengalaman usaha, namun jiwa wirausahanya masih harus ditingkatkan lagi;
5. Sebagian sudah mulai mengenal dan berhubungan dengan perbankan dalam hal keperluan modal, namun sebagian besar belum dapat membuat business plan, studi kelayakan dan proposal kredit kepada bank sehingga masih sangat memerlukan pendampingan.

Jenis usaha kecil, pada umumnya sangat didominasi oleh jenis usaha di bidang atau sektor pertanian atau yang berbahan baku pertanian yaitu agribisnis termasuk agroindustri termasuk sektor industri kecil sebagai pengrajin, didukung oleh sektor perdagang skala kecil (pengecer) ada juga sektor transportasi skala kecil.

Peranan BMT bagi UMK

Pembiayaan kepada pengusaha mikro selama ini selalu terkendala permasalahan outstanding pembiayaan yang kecil yang karena itu biaya operasioanal pembiayaan menjadi tinggi membuat pihak perbankan enggan memberikan pembiayaan. Kendala lainnya persyaratan perbankan, bankable atau yang secara teknis mengharuskan adanya jaminan liquid dll yang tidak dimiliki oleh sektor UMK (tabel 3). Adanya keinginan yang kuat untuk mengatasi kendala-kendala di atas itulah yang menginspirasi kehadiran BMT.

Tabel 3
Jenis Kesulitan Usaha Kecil dan menengah

BMT adalah Baitul Maal wat-Tamwil, suatu gerakan swadaya masyarakat Masyarakat dibidang ekonomi yang sejak awal kehadirannya fokus untuk melayani kebutuhan finansial UMK. Dimulai sejak tahun 1992 yang merupakan respon atas kemiskinan dan pengangguran serta kurangnya permodalan dan pendampingan terhadap para pengusaha mikro dan kecil.

BMT yang sebagian besar berbadan hukum Koperasi mampu mengatasi kendala-kendala yang dimiliki lembaga keuangan formal seperti Bank. BMT ini jugalah yang telah menyelamatkan banyak usaha mikro dan kecil dari cengkraman lintah darat. Kedudukan BMT dalam struktur keuangan mikro di Indonesia merupakan lembaga keuangan mikro non bank-non formal. (gambar 2).

Gambar 2
Struktur Keuangan Mikro di Indonesia

Lalu, muncul pertanyaan bagaimana BMT mampu mengelola suatu lembaga keuangan mikro yang memberikan pembiayaan kepada UMK tanpa adanya ketakutan atas resiko pembiayaan. Setiap instrumen investasi apapun pasti mengadung risiko. Termasuk pilihan yang diambil oleh BMT untuk memberikan pembiayaan kepada sektor UMK. Tinggal bagaimana kita mampu mengelola resiko dan mengantisipasi kemungkinan risiko tanpa harus mengorbankan UMK sendiri.

Saat ini BMT yang tergabung dalam BMT Center berjumlah 124 unit dengan total aset sejumlah Rp 367 milyar, jumlah UMK yang telah dibiayai sebesar 200 ribu unit, dan tingkat risiko pembiayaan NPF berada di bawah 3 persen. Hal ini masih merupakan cacah hitung kasar dalam satuan waktu, jika dihitung bahwa pada umumnya pembiayaan tersebut berjangka waktu 4 bulan, maka UMK yang mendapat layanan BMT tentu akan lebih besar, belum lagi jika ditambah dengan aksi-aksi sosial --yang melekat dalam Baitul Maal BMT-- kepada masyarakat, misalnya pemberian bea siswa bagi dhu'afa dan yatama, bantuan musibah, dan lain-lain.

Bila dibandingkan dengan kekuatan lembaga keuangan mikro lain dalam hal besaran pembiayaan atau kredit, kekuatan BMT memang belum seberapa, dari total pembiayaan yang disalurkan kepada UMK.

Namun jika ditinjau dari segi jumlah penerima manfaat (beneficary-nya), maka kita dapat melihat jumlah yang dilayani oleh BMT jauh lebih banyak, dan yang lebih menarik lagi jumlah pembiayaan tiap unit usahapun lebih kecil, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa pembiayaan pada BMT lebih mampu untuk menyentuh pengusaha mikro sebagai unit usaha terkecil, akan tetapi memiliki jumlah unit usaha paling besar di Indonesia.

Ujrah dalam Pandangan Islam

Ujrah (Upah)

Oleh : Ardi Winata, Hendro Wibowo, Teguh Santoso

Bab I Pengertian

Upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya. (Afzalur Rahman, 1995).

Upah dapat didefinisikan sebagai harga yang dibayarkan pada pekerja atas pelayanannya dalam memproduksi kekayaan. Tenaga kerja seperti halnya faktor produksi lainnya, dibayar dengan suatu imbalan atas jasa-jasanya. Dengan kata lain, upah adalah harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi. (Afzalur Rahman, 1997).

Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua; Pertama, upah yang telah disebutkan (ajrun musamma), Kedua, upah yang sepadan (ajrun mitsli). Upah yang telah disebutkan (ajrun musamma) itu syaratnya ketika disebutkan harus disertai kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi, sedangkan upah yang sepadan (ajrun mitsli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya sesuai dengan kondisi pekerjaannya (profesi kerja) jika akad ijarahnya telah menyebutkan jasa (manfaat) kerjanya.

Yang menentukan upah tersebut (ajrun mitsli) adalah mereka yang mempunyai keahlian atau kemampuan (skill) untuk menentukan bukan standar yang ditetapkan Negara, juga bukan kebiasaan penduduk suatu Negara, melainkan oleh orang yang ahli dalam menangani upah kerja ataupun pekerja yang hendak diperkirakan upahnya orang yang ahli menentukan besarnya upah ini disebut dengan Khubara’u. (Ismail Yusanto, 2002).

Upah (ujrah) adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan yang dikerjakan manusia, baik berupa uang atau barang, yang memiliki nilai harta (maal) yaitu setiap sesuau yang dapat dimanfaatkan.

Upah adalah imbalan yang diterima seseorangan atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

Bab II Syarat-syarat Upah

a. Hendaknya upah berupa harta yang berguna atau berharga dan diketahui

Dalil bahwa upah harus diketahui adalah sabda Rasulullah SAW ;”Barang siapa yang mempekerjakan seseorang maka beritahulah upahnya”. Dan upah tidak mungkin diketahui kecuali kalau ditentukan.

b. Janganlah upah itu berupa manfaat yang merupakan jenis dari yang ditransaksikan.

Seperti contoh yaitu menyewa tempat tinggal dengan tempat tinggal dan pekerjaan dengan pekerjaan, mengendarai dengan mengendarai, menanam dengan menanam. Dan menurut hanafiah, syarat ini sebagaian cabang dari riba, karena mereka menganggap bahwa kalau jenisnya sama, itu tidak boleh ditransaksikan.

Persyaratan mempercepat dan menangguhkan upah

Upah tidak menjadi dengan hanya sekedar akad, menurut mazhab Hanafi. Mensyaratkan mempercepat upah dan menangguhkannya sah, seperti juga halnya mempercepat yang sebagian dan menangguhkan yang sebagian lagi, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, berdalil kepada sabda Rasulullah SAW :

”Orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka”.

Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan mempercepat atau menangguhkan, sekiranya upah itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya orang yang menyewa suatu rumah untuk selama satu bulan, kemudian masa satu bulan telah berlalu, maka ia wajib membayar sewaan. (Sayid Sabiq : 1987)

Jika akad ijarah untuk suatu pekerjaan, maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan.

Hak Menerima Upah

  1. Selesai bekerja

Berdalil pada hadits yang dirwayatkan oleh Ibnu Majah, Bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda : ”Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering”.

  1. Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang.

Apabila terdapat kerusakan pada ’ain (barang) sebelum dimanfaatkan dan sedikitpun belum ada waktu yang berlalu, ijarah menjadi batal.

  1. Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlangsung, ia mungkin mendatangkan manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi keseluruhannya.
  2. Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, yaitu mempercepat bayaran.

Tingkat Upah Minimum

Sebuah Negara Islam sebagai wakil Allah di muka bumi diharapkan dapat melakukan pemerataan rezaki terhadap anggota masyarakatnya. Dengan demikian tugas utamanya adalah memperhatikan agar setiap pekerja dalam Negara memperoleh upah yang cukup untuk mempertahankan suatu tingkat kehidupan yang wajar. Dan tidak akan pernah membolehkan pemberian upah yang berada di bawah tingkat minimum agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Rasulullah SAW senantiasa menasehati para sahabat beliau agar memberlakukan pelayan-pelayan mereka dengan baik dan memberi mereka upah yang cukup dan layak. (Afzalur Rahman : 1995)

Diriwayatkan Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Berilah makanan dan pakaian kepada pelayan dan budak sebagaimana kebiasaaanya dan berilah mereka pekerjaan sesuai dengan kemampuannya” (H.R Bukhari Bab AL-Adab).

Hadits ini telah menganjurkan agar upah para pekerja harus cukup untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka menurut taraf hidup pada saat itu. Dan ini sewajarnya dianggap sebagai tingkat upah minimum, dan upah tidak seharusnya jatuh di bawah tingkat minimum dalam suatu masyarakat.

Abu Dzar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)”. (H. R Bukhori Bab Al-Adab).

Penjelasan hadits :

  1. Majikan dan pekerja harus saling mengakui satu sama lain sebagai saudara seiman dan tidak ada yang bertindak sebagai tuan dan budak. Perubahan dalam sikap majikan ini sesungguhnya akan memperbaiki hubungan di antara mereka. Manakala majikan memandang pekerjaannya dengan upah yang sesuai sehingga ia dapat menutupi semua biaya-biaya kebutuhannya. Disamping itu, pekerjaan akan merasa sangat berkepentingan dalam pekerjaannya dan bekerja sungguh-sungguh dengan mencurahkan kemampuan dan kekuatannya dengan sebaik-baiknya. Hasilnya, usaha tersebut akan memberikan keuntungan bagi keduanya, majikan dan pekerja dan kekayaan Negara juga akan meningkat.
  2. Majikan mempunyai kedudukan yang sama dengan pekerjaannya dalam pemenuhan hal kebutuhan pokok manusia. Dengan kata lain, pekerja harus diberi upah yang layak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  3. Seorang pekerja tidak seharusnya diberi tugas yang sangat berat dan sulit melebihi kemampuannya, atau seakan-akan pekerjaan itu memungkinkan baginya mengalami penderitaan yang besar, dan tidak dipekerjakan berjam-jam (terlalu lama) sehingga dapat berakibat buruk pada kesehatannya.

Dalam Hadits lain, diriwayatkan dari Mustawiid bin Syadad bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya), seseorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan : Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda :”Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri”. (H.R Abu Daud).

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan asasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri).

Upah pegawai Pada Masa Rasulullah

Rasulullah SAW menetapkan beberapa prinsip dasar dalam penentuan upah pegawai kerajaan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : ”Bagi seorang pegawai kerajaan, jika dia belum menikah; dia harus menikah; jika dia tidak pelayan, dia boleh memilikinya; jika dia tidak punya rumah untuk hidup, dia boleh membangunnya, dan siapapun yang melampaui batas ini maka ia termasuk perampas atau pencuri”. (H.R Abu Dawud).

Hadits ini memberikan dua prinsip pengaturan upah pegawai kerajaan; pertama, pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata dan praktis dari para pegawainya; kedua, tidak patut bagi para pekerja untuk menuntut lebih kepada badan keuangan negara dari kebutuhan yang sebenarnya. Jika upah pegawai pemerintah ditentukan berdasarkan prinsip ini, maka tidak akan pernah timbul perbedaan yang tidak adil dan tidak wajar dalam penentuan upah para pejabat tertinggi dan pejabat terendah dalam kerajaan.

Bab III Contoh Penerapan Upah Dalam Aktivitas

III. 1 Upah perbuatan taat

Adapun upah berbuat taat, dalam menentukan hukumnya, para Ulama ikhtilaf, dibawah ini kita sebutkan mazhab-mazhab.

Mazhab hanafi

Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa atau mengerjakan haji serta membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepadanya (yang menyewa) atau untuk azan, untuk menjadi imam manusia atau hal-hal yang serupa itu, tidak dibolehkan dan hukumnya haram mengambil upah tersebut, berdalil kepada sabda Nabi SAW, yang berbunyi :

”Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kau (cari) makan dengan jalan itu”.

Dan sabda Rasulullah kepada Amru bin Ash :

”Jika kau mengangkat seseorang menjadi mu’zin maka janganlah kau pungut dari azan sesuatu upah”.

Segolongan fuqaha membenarkan menerima upah dari pekerjaan mengajarkan Al-Qur’an, dengan alasan :

Pertama, menurut Imam as-Syaukani, hadits-hadits yang melarang menerima upah dengan mengajarkan Al-Qur’an itu semuanya lemah dan tidak luput dari cacat. Karena itu tidak dapat dijadikan hujjah.

Kedua, terdapat hadits shahih yang menyalahi Hadits dhaif tersebut, yaitu dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

”Sepatut-patut perkara yang kalian ambil upah buatnya itu ialah Kitabullah” (H.R Bukhari).

Ketiga, pertimbangan kepatutan (istihsan). Betapa perlunya ada guru-guru agama yang khusus mengajarkan Al-Qur’an/agama. Kehadiran guru agama yang diberi gaji itu perlu, sebab mereka akan mengalami kesulitan hidup, karena jam kerja mereka dicurahkan untuk mengajarkan agama.

III. 2 Muadzin yang bergaji

Mengenai persewaan muazin, sebagian fuqaha tidak keberatan terhadaonya, sedang sebagian yang lain memakruhkannya.

Sehubungan dengan hadits dari Utsman bin Abul ’Ashi r.a. Ia berkata :

”Rasulullah SAW bersabda, Ambillah muazin yang tidak mengambil upah atas azannya” (H.R Tirmidzi dan Nasai)

”Akhir wasiat Rasulullah SAW kepadaku ialah : Janganlah aku mengangkat muadzin yang menghendaki upah adzannya”. (H.R Ahmad).

Hadits tersebut selain diriwayatkan oleh Ahmad, juga oleh Abu Dawud, an-Nasai, at-Turmudzi, al-Hakim dan Baihaqi, dengan derajat hasan.

Hadits tersebut menyatakan bahwa syara’ tidak menyukai muadzin yang meminta upah karena adzannya, dan syara’ tidak menyukai pengangkatan muadzin untuk menghendaki gaji.

III. 3 Usaha Bekam

Sebagian fuqaha melarang mata pencaharian sebagai tukang bekam. Sebagian yang lain menganggap sebagai mata pencaharian yang rendah dan makruh bagi seorang lelaki. Sedang sebagian fuqaha lain membolehkan dimana usaha bekam tidak haram, karena Nabi SAW pernah berbekam dan beliau memberikan imbalan, kepada tukang bekam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas. Jika sekiranya haram, tentu beliau tidak akan memberikan upah kepadanya. Karena ia merupakan pembayaran harga manfaat, sedang harga mempunyai syarat harus diketahui jelas, berdalil kepada sabda Rasulullah SAW :

”Siapa yang mempekerjakan seseorang hendaklah ia memberitahukan kepadanya berapa bayarannya”.

Dan menentukan bayaran menurut kebiasaan yang berlaku, hukumnya sah.

Hadits dari Ibnu Abbas r.a :

Rasulullah SAW pernah berbekam dan memberikan kepada yang membekamnya itu dengan upah. Sekiranya haram, tentulah beliau tidak memberikannya”. (H.R Bukhari)

Tetapi segolongan fuqoha memandang bahwa mata pencaharian sebagai tukang bekam itu terlarang, berdasarkan hadits Nabi SAW :

”Pencaharian tukang bekam itu jelek” (H.R Muslim)

III. 4 Gugurkah bayaran lantaran adanya kerusakan ’ain pada ijarah kerja ?

Jika seorang bayaran pada milik si pengupah atau dengan kehadirannya, ia tetap berhak mendapatkan upah, karena ia berada di bawah kekuasaannya (pengupah), maka semua pekerjaan menjadi tanggung jawabnya (diserahkan padanya).

Jika pekerjaan itu berada di bawah wewenang orang yang diberi upah, (adanya kerusakan) ia tidak berhak memperoleh upah, lantaran terjadinya kerusakan di tangannya, karena ia tidak dapat menjaga keselamatan kerja. Demikian menurut mazhab Syafi’i dan Hambali.

Bab IV PENUTUP

Kesimpulan

Untuk mempertahankan upah pada suatu standar yang wajar, islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam mobilitas tenaga kerja. Mereka bebas bergerak untuk mencari penghidupan di bagian mana saja di dalam negara atau tempat tinggal di suatu daerah. Tidak pembatasan sama sekali terhadap perpindahan seseorang dari satu daerah ke daerah yang lain guna mencari upah yang lebih tinggi.

Metode yang dianjurkan oleh islam dalam menentukan standar upah diseluruh negeri adalah dengan benar-benar memberi kebebasan dalam bekerja. Setiap orang bebas memilih pekerjaan apa saja sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimiliki serta tidak ada pembatasan yang mungkin dapat menciptakan kesulitan-kesulitan bagi para pekerja dalam memilih pekerjaan yang sesuai. Sebagai hasilnya, kekuatan tenaga kerja didistribusikan ke seluruh bidang bidang pekerjaan dan ke seluruh pelosok daerah sesuai dengan proporsi yang dikehendaki, dan jarang terjadi suatu kelebihan atau kekurangan tenaga kerja di mana-mana.

Daftar Pustaka

  1. M.A.Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1993.
  2. Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, penerjemah , Soeroyo Nastangin. Jakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995.
  3. Sabiq, Sayid, Fikih Sunnah 13 cetakan pertamaBandung, PT. Alma’arif 1987.
  4. Ya’qub Hamzah. DR, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Cet II, Bandung : CV. Diponegoro, 1992.
  5. Yusanto, M.I dan M.K. Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, Cet I, Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
  6. Zuhaili, Wahbah. DR, Fiqh Muamalat Perbankan Syariah, penerjemah DR. Setiawan Budi Utomo, BMI, 1999.

Bunga Bank adalah Riba

Bunga Bank Konvensional Adalah Riba

Oleh : Hendro Wibowo


Hingga lebih dari sepuluh tahun berdirinya lembaga keuangan dengan prinsip syariah Islam di Indonesia, kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.


Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan Hadist.


Pengertian Bunga dan Riba

Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is "A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned". (lihat H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA).

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.


Pengertian Riba dari beberapa sumber

Menurut bahasa berarti Ziyadah yaitu tambahan, tumbuh, tinggi dan naik.

Dimana Allah SWT berfirman :

"Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah." (Q.S Al-Hajj : 5)


Menurut Etimologi ilmu fiqih, riba artinya yaitu : Tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. (Abdullah Muslish : Fikih Ekonomi Keuangan Islam).
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.


Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil” (Q.S An-Nisa : 29). Dalam kaitannya dengan ayat tersebut diatas mengenai makna al-bathil, Ibnu Al-Arabi Al-Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an (lihat syafii Anotonio), menjelaskan : bahwa pengertian riba secara bahasa adalah tambahan (Ziyadah), namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.


Merujuk dari penjelasan tentang pengertian riba dan bunga diatas, bahwa dapat disimpulkan bunga sama dengan riba. Mengapa demikian, dikarenakan secara riil operasional di perbankan konvensional, bunga yang dibayarkan oleh nasabah peminjam kepada pihak atas pinjaman yang dilakukan jelas merupakan tambahan. Karena nasabah melakukan transaksi dengan pihak bank berupa pinjam meminjam berupa uang tunai. Didalam Islam yang namanya konsep pinjam meminjam dikenal dengan namanya Qardh (Qardhul Hasan) merupakan pinjaman kebajikan.
Dimana Allah SWT, berfirman :

"Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."(Q. S Al-Baqarah : 245)

Pinjaman qardh tidak ada tambahan, jadi seberapa besar yang dipinjam maka dikembalikan sebesar itu juga. Namun, berbeda apabila akad atau transaksi tersebut mengandung jual beli, sewa maupun bagi hasil.

Jadi, Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam hal ini merupakan riba yang telah diharamkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadist sebagai berikut :

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Q.S Al-Baqarah : 275 dan juga dalam Hadist Rasulullah bersabda : “Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (H.R Muslim no. 2995 dalam kitab Al-Musaqqah)

Rahn (Gadai Syariah)

Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariah

Oleh : Ari Agung Nugraha

1. Pegadaian Syariah, Bagian Terintegrasi dari Bisnis Perum Pegadaian

1.1.Pegadaian dari Masa ke Masa

Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian merupakan “trademark” dari lembaga Keuangan milik pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai.

Bisnis gadai melembaga pertama kali di Indonesia sejak Gubernur jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Meskipun demikian, diyakini bahwa praktik gadai telah mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. Pemerintah sendiri baru mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian, pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai.Seiring dengan perkembangan zaman, Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan ( 1901 ), Perusahaan di Bawah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990, sampai dengan terbitnya PP 103 tahun 2000, Pegadaian berstatus sebagai Perusahaan Umum (PERUM) dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan Departemen Keuangan RI hingga sekarang,

1.2. Kegiatan Usaha Perum Pegadaian

Sesuai dengan PP103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan usaha lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, Pegadaian mengemban misi untuk ;

  1. turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah
  2. menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.

Kegiatan usaha Pegadaian dijalankan oleh lebih dari 730 Kantor Cabang PERUM Pegadaian yang tersebar di seluruh Indonesia. Kantor Cabang tersebut dikoordinasi oleh 14 Kantor Wilayah yang membawahi 26 sampai 75 kantor Cabang. Perum Pegadaian secara Nasional berada di bawah kepemimpinan Direksi.

1.3. Lahirnya Pegadaian Syariah

Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah..

Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

1.3.1. Pegadaian Syariah di Batam

ULGS Batam berada dalam lingkup koordinasi Kantor Wilayah II Padang bersama dengan 50 kantor Cabang lainya yang tersebar di provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi dan Riau. Di Batam sendiri telah berdiri 4 kantor Cabang Pegadaian Konvensional ( non Syariah ) yaitu di Sei Jodo, Bengkong, Penuin dan Batu Aji. Baru kemudian, pada tanggal 10 November 2003 Kantor Unit Layanan Gadai Syariah mulai melakukan uji coba operasi di Sungai Panas, Jl Laksamana Bintan, Kompleks Bumi Riau makmur Blok C 8, dan melayani permintaan masyarakat yang ingin menggadaikan barang bergeraknya. Alhamdulilah ULGS telah mampu melayani nasabah yang berasal dari 19 kelurahan di wilayah Batam. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan ULGS telah dapat diterima di tengah masyarakat.

2. Operasionalisasi Pegadaian Syariah

Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional , Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.

Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.

2.1. Landasan Konsep

Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :

Quran Surat Al Baqarah : 283

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan

Hadist

Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah

Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai

Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari

Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

a. Ketentuan Umum :

  1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
  2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
  3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
  4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
  5. Penjualan marhun

A. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

B. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.

C. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

D. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

b. Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

2.2. Teknik Transaksi

Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.

  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  1. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukad akad

rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :

a. Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang (murtahin).

b. Sighat ( ijab qabul)

c. Harta yang dirahnkan (marhun)

d. Pinjaman (marhun bih)

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :

  1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
  2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
  3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
  4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
  5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :

  1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan .
  2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
  3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk

o melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,

o mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,

o atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

1.3. Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu

  1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
  1. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan

Prospek MLM Syariah di Indonesia

PROSPEK MLM SYARI’AH DI INDONESIA

Belakangan ini, gerakan ekonomi syari’ah di Indonesia semakin berkembang pesat, termasuk di Sumatera Utara. Gerakan ekonomi syari’ah itu berkembang melalui lembaga perbankan syari’ah, baik bank umum syari’ah maupun BPR Syari’ah yang jumlah dan asetnya semakin meningkat secara fantastis.

Demikian pula Asuransi Takaful Syari’ah, Raksadana Syari’ah, Koperasi Syari’ah, Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), Koperasi pesantren dan Multi Level Marketing (MLM) Syari’ah. Salah satu gerakan ekonomi syari’ah yang berkembang saat ini adalah Multi Level Marketing Syari’ah Ahad-Net Internasional.

MLM adalah singkatan dari Multi Level Marketing, sebuah sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Jadi, Multi Level Marketing adalah suatu konsep penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut berlibat sebagai penjual dan memperoleh keuntungan di dalam garis kemitraannya. MLM disebut juga Network Marketing, Multi Generation Marketing dan Uni Level Marketing. Namun dari semua istilah itu, yang paling populer adalah istilah Multi Level Marketing.

MLM Versus Money Game

Harus ditegaskan disini bahwa BMA dan sejenisnya yang pernah berkembang di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, bukanlah Multi Level Marketing, tetapi money game dan pengandaan uang yang jelas-jelas menipu dan membodohi umat. Mereka menggunakan nama MLM (berkedok) multi level untuk meraup dana umat secara besar-besaran.

Bisnis money game seperti BMA pasti merugikan sebagian besar masyarakat, karena sistemnya yang menggunakan piramida, pasti akan jenuh dan akibatnya banyak orang yang dirugikan. Dalam sistem money game itu, orang yang terlebih dahulu masuk akan diuntungkan, sedangkan orang yang masuk belakangan pasti akan rugi.

Karena itu, negara-negara maju melarang keras money game seperti BMA dan sejenisnya melalui Undang-Undang Anti Piramida. Perusahaan yang bergerak di bidang money game berkedok MLM, dimeja hijaukan. Jadi, masyarakat harus cerdas dan hati-hati, jangan lagi tergoda oleh penipuan besar seperti BMA dan sejenisnya.

Sistem money game menggunakan sistem gali lobang tutup lobang. Lobang yang digali jauh lebih besar dari sesuatu yang ingin ditutupkan dari lubang itu. Akibatnya dari hari ke hari, lubang semakin besar dan akhirnya meledak. Dan tak ayal lagi ribuan orang dirugikan. Itulah sistem money game yang telah “memperkosa” nama MLM.

Peluang Bisnis MLM

Indonesia merupakan sasaran empuk bisnis MLM internasional. Menurut laporan Tabloid Network Indonesia, edisi Agustus 2001, bahwa jumlah perusahaan MLM yang berkembang saat ini di Indonesia mencapai 101 buah dan itu belum termasuk bisnis MLM yang muncul dengan mengendap-endap (tanpa kantor).

Sedangkan di Medan saat ini diperkirakan telah muncul 57 perusahaan MLM. Sebagian besar di antaranya berasal dari Amerika (utamanya Yahudi) dan negara-negara barat lainnya, dan ada pula yang berasal dari Jepang. Belakangan ini banyak juga yang berasal dari Malaysia. Satu-satunya operasinya mengamalkan prinsip syari’ah adalah Ahad-net Internasional.

Belakangan ini, merebaknya bisnis MLM di Medan di picu oleh perkembangan MLM di Malaysia. Di negara jiran ini, peraturan MLM ini sangat ketat, antara lain pemberlakuan pajak sampai 26 persen terhadap bisnis MLM. Hal itu tentu sangat memberatkan para pengusaha. Akibat kewajiban yang memberatkan itu, maka tidak sedikit pengusaha MLM Malaysia yang hijrah ke Sumut sebagai daerah potensial terdekat dari Malaysia.

MLM Syari’ah

MLM Syari’ah di Indonesia, dipelopori Ahad-Net Internasional. Ahad berarti satu. Maksudnya untuk membangun ekonomi umat, dibutuhkan persatuan, ukhuwah dan jamaah. Ahad adalah singkatan dari Al-Quran, hadits, akhirat dan dunia.

Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini, dicuci dan dimodifikasi dan disesuaikan dengan syari’ah. Aspek-aspek haram dan syubhat dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syari’ah yang berlandaskan tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total dengan MLM syari’ah Ahad-Net Internasional.

MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional juga sangat berbeda dengan MLM konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi, prinsip, orientasi, komoditi, system pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.

Motivasi dan niat dalam menjalankan MLM Syari’ah setidaknya ada empat macam. Pertama, kashbul halal wa intifa’uhu (usaha halal dan menggunakan barang-barang yang halal). Kedua, bermu’amalah secara syari’ah Islam. Ketiga, mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam negeri.

Adapun visi MLM Syari’ah adalah mewujudkan Islam Kaffah melalui pengamalan ekonomi syari’ah. Sedangkan misinya adalah: Pertama, mengangkat derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia.

Ketiga, membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi, maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam, meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.

Latar Belakang

Kelahiran MLM Syari’ah Ahad-Net dilatar belakangi oleh kepedulian akan kondisi perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bias diwujudkan. Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam.

Kehadiran MLM Syari’ah juga dilatarbelakangi oleh realitas bahwa produk-produk makanan, minuman, kosmetika dan jutaan jenis-jenis barang lainnya, akan semakin banyak masuk ke Indonesia secara bebas yang status halal dan haramnya pun tidak jelas. Pemasaran produk tersebut tidak saja melalui ritel dan eceran, tetapi juga melalui sistem Multi Level Marketing konvensional, yang dipasarkan melalui jaringan keanggotaan.

Dalam MLM Syari’ah yang dipelopori Ahad-Net Internasional, kegiatan bisnisnya adalah penjualan atau pemasaran produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi syari’ah di seluruh Indonesia.

Prospek

MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional, sangat prospektif dan memiliki potensi besar untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan karena mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari’ah satu-satunya adalah MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional. Atribut syari’ah tersebut sangat efektif untuk menarik masyarakt memasuki MLM syari’ah yang satu ini.

Selanjutnya kesadaran kaum Muslimin untuk mengembangkan ekonomi syari’ah semakin meningkat, baik di perguruan tinggi maupun di dalam forum-forum keagamaan, bahkan dalm kegiatan seminar atau muzakarah. Kegiatan MLM Syari’ah tidak saja dikalangan masyarakat awam, tetapi juga telah merambah ke kalangan ulama, akademisi dn birokrasi.

Selain kondisi tersebut, cerahnya prospek bisnis MLM Syari’ah ini disebabkan karena bisnis MLM ini sangat sederhana, mudah, tak butuh modal, tetapi menjanjikan masa depan yang amat lumayan. Sangat banyak pengusaha MLM syari’ah yang sukses mengembangkan MLM Syari’ah ini. Karena itu, banyak pula masyarakat yang tertarik dengan bisnis ini.

Saat ini di Sumatera Utara dalam waktu 4 tahun, terdapat 16.000 anggota (mitra niaga). Padahal dua tahun yang lalu anggotanya hanya sekitar 3.600 orang.

Kini perkembangannya bagaikan air bah, merambah dengan pasti dan spektakuler. Dari segi kualitas produk, MLM syari’ah telah memiliki produk-produk unggul yang bisa diandalkan. Dari segi pelayanan dan pemasaran, aktivitasnya juga secara rutin mengikuti pelatihan, sehingga bisa tampil dengan service exellence.

Apalagi dari segi motivasi, para aktivis MLM syari’ah yang bias di sebut mujahid iqtishad (pejuang ekonomi syari’ah), memiliki etos dan semangat yang tinggi dengan landasan tauhid dan semangat jihad yang berkobar.

Selain itu, bisnis MLM telah terbukti ampuh dalam menghadapi krisis. Sebab bisnis MLM memiliki basis yang jelas, sehingga kebal terhadap krisis. Pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1999 yang ditandai dengan ambruknya rupiah ternyata penjualan eceran dengan pola direct selling dan multi level marketing tetap tumbuh dan berkembang.

Peluang kemajuan MLM syari’ah sejalan dengan arus kebangkitan ekonomi syari’ah saat ini yang mulai menampakkan fajar baru secara mengembirakan, baik di dunia internasional maupun di level nasional, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, raksadana syari’ah, BMT, koperasi pesantren dan sebagainya.

Berdasarkan potensi pasar, data-data dan perkembangan MLM syari’ah dalam masa beberapa tahun belakangan, diprediksikan bahwa MLM syari’ah akan menjadi MLM raksasa dan tampil sebagai MLM terbesar di Indonesia.