Jumat, 20 Juni 2008

Analisis Risiko Murabahah

Analisis Risiko Pembiayaan
dengan Akad Murabahah pada Bank Syariah

Oleh : M. Budiyoso Taruno (STEI SEBI Jakarta)

Salah satu skim fiqih yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi ini sering dilakukan oleh Rasulullah Saw, dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.

Jadi singkatnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.[1] Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.

Murabahah dalam Fikih Islam merupakan bentuk jual beli yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan pada mulanya.[2] Oleh karena itu, beberapa ulama kontemporer telah membolehkan penggunaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan syarat-syarat tertentu yang harus diperhatikan:[3]

v Harus selalu di ingat bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghindar dari “bunga” dan bukan merupakan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi Islam. Sehingga, instrumen ini hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses Islamisasi ekonomi, dan penggunaannya hanya terbatas pada kasus-kasus di mana murabahah dan musyarakah tidak dapat diterapkan.

v Murabahah muncul bukan hanya untuk menggantikan “bunga” dengan “keuntungan”, namun sebagai bentuk pembiayaan yang diperbolehkan oleh ulama Syariah dengan syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka murabahah tidak boleh digunakan dan cacat menurut Syariah.

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Mazhab Maliki, membolehkan biaya-biaya langsung terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang tersebut.

Mazhab Syafi’i membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.

Mazhab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan tersebut dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkannya. Keempat mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau tidak berkaitan dengan hal-hal yang berguna.

Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Atau Murabahah adalah jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut dari pemasok kemudian menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya – keuntungan (cost – plus profit). Dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al amir bisysyira.[4] Bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Si penjual boleh meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi atau biasa disebut uang muka ketika ijab-kabul. Hal ini sekedar menunjukkan bukti keseriusan pembeli. Uang muka inilah yang menjadi jaminan ganti rugi bila nasabah membatalkan transaksi murabahah. Dalam murabahah yang berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya.[5]

Aplikasi dalam Perbankan

Aplikasi Murabahah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti Letter of Credit (L/C). Praktek ini paling banyak digunakan karena sangat sederhana dan tidak dipandang asing bagi yang sudah terbiasa bertransaksi di bank umum.

Kalangan perbankan syariah di Indonesia banyak menggunakan akad murabahah secara berkelanjutan seperti untuk modal kerja, padahal sebenarnya, murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Murabahah tidak dapat diterapkan untuk skema modal kerja.[6]

Secara umum, aplikasi murabahah dalam praktek perbankan dapat digambarkan sebagai berikut :




Skema di atas memperjelas bagaimana proses transaksi murabahah antara bank dengan nasabah, di mana; (1) nasabah yang memerlukan barang/kebutuhan melakukan transaksi dengan bank dengan akad murabahah. (2) Barang/kebutuhan nasabah, dijelaskan spesifikasinya secara mendetail kepada bank, (3) bank melakukan pemesanan kepada supplier dengan spesifikasi yang sesuai dengan pesanan nasabah, (4) Bank melakukan pembayaran secara tunai kepada supplier, (5) Supplier/bank dapat menyerahkan secara tunai barang yang dipesan oleh nasabah, (6) nasabah melakukan pembayaran secara tunai atau pun cicilan kepada bank dengan keuntungan bank yang sudah disepakati sebelumnya.

Dalam membayar cicilan murabahah oleh nasabah, apabila nasabah mempercepat kewajiban pembayarannya sebelum jatuh tempo, maka bank memperbolehkan mengurangi bagian keuntungannya, yaitu dengan cara dikreditkan ke rekening piutang murabahah. Apabila terjadi penundaan membayar kewajiban dengan sengaja, maka nasabah membayar denda, dengan jumlah yang ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama pada saat akad ditandatangani. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah untuk lebih disiplin terhadap kewajibannya. Denda tersebut diperuntukan sebagai dana sosial (qardhul hasan) bukan untuk pendapatan bank.[7]

Analisis Risiko dengan Akad Murabahah

Dalam analisis risiko dengan akad murabahah ini akan dibahas dari dua sisi yaitu, dari pihak bank sebagai pemberi pembiayaan dan dari pihak nasabah sebagai penerima pembiayaan.

Dari pihak Bank :

1. Murabahah, sekalipun menyangkut jual beli barang tetapi pada hakekatnya adalah transaksi pembiayaan. Dan fungsi bank tetap sebagai pedagang jasa yang memberikan fasilitas pembiayaan, bukan sebagai pedagang barang. Karena secara yuridis, adalah nasabah yang membeli barang dari pemasok bukan bank. Dan bank hubungannya dengan pemasok barang adalah sebagai kuasa dari dan atas nama nasabah bank. Dengan demikian bank harus dapat menyadari risiko, manakala terjadi penggugatan oleh pemasok barang apabila pemesanan barang dari nasabah dibatalkan. Atau terjadi pembatalan ketika barang tersebut sudah berada di tangan bank. Dan bank harus menanggung semua dari pembatalan pemesanan tersebut.

2. Apabila terjadi penundaan kewajiban membayar disebabkan karena ketidakmampuan nasabah, maka bank tidak diperbolehkan meminta nasabah membayar jumlah tambahan sebagai denda tetapi bank menunggu nasabah sampai mampu membayar cicilan. Inilah kerugian yang harus ditanggung bank ketika nasabah tidak mampu membayar sesuai dengan jatuh tempo pembayaran yang disepakati bersama.

3. Fluktuasi harga, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut ketika akad sudah ditandatangani.

4. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab: (a) Barang yang di kirim rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi; (b) Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan.

5. Dijual; karena murabahah bersifat jual-beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian resiko default akan besar.

Dari pihak Nasabah :

1. Dalam setiap pendesainan sebuah pembiayaan murabahah, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah (1) kebutuhan nasabah; (2) kemampuan finansial nasabah. Dalam hal kemampuan finansial nasabah ketika dalam perjalanannya si nasabah tidak mampu meneruskan cicilannya ini yang menjadi beban moral bagi nasabah dan juga kemungkinan ketika ingin mengajukan pembiayaan lagi bank syariah akan berpikir dua kali, apakah nasabah ini ketika pembiayaannya diterima mampu melunasi cicilannya.

2. Barang yang diterima nasabah rusak ketika diterima. Hal ini yang menjadi kerugian bagi nasabah seharusnya bisa memanfaatkan barangnya ketika diterima dari supplier atau dari bank.

3. Barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan sehingga nasabah harus menolak barang yang dikirim oleh pihak supplier atau bank.

Daftar Pustaka

Karim, Adiwarman, Ir, S.E., M.B.A., M.A.E.P. BANK ISLAM Analisis Fiqih dan Keuangan.

Jakarta: Rajawali Pers. 2004.

Nazir, Habib, Dr. dan Muhammad Hassanuddin, S. Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah.

Jakarta : Kaki Langit. 2004.

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan.

Jakarta; Bank Indonesia dan Tazkia Institute. 1999.

Rivai, Prof. Dr. H. Veithzal, dkk. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia System.

Jakarta : Rajawali Pers. 2007.

KarimSyah Law Firm. Karakteristik Perbankan Syariah diringkas dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59


[1] Karim, Adiwarman, S.E., M.B.A., M.A.E.P. BANK ISLAM Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.

[2] Rivai, Prof. Dr. H. Veithzal, dkk. Bank and Financial Institution Management Conventional & Sharia System. Jakarta : Rajawali Pers. 2007.

[3] Ibid,

[4] Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta; Bank Indonesia, Tazkia Institute. 1999.

[5] Op Cit, hal 115

[6] Nazir, Habib, Dr. Dan Muhammad Hassanuddin, S. Ag. Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah. Jakarta : Kaki Langit. 2004.

[7] KarimSyah Law Firm. Karakteristik Perbankan Syariah diringkas dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59

2 komentar:

rya mengatakan...

bisa minta tlg jelasin ttg analisis risiko pada pembiayaan mudharabah dan musyarakah g? n klw boleh minta referensinya dunk... thanx b4..

erny mengatakan...

apakah jns pembiayaan pada bank syari'ah berpengaruh pada tingkat risiko? seperti apa?